Siapakah yang Disebut Raja Jawa? | Menelusuri Penguasa Pulau Jawa


[Historiana] - Jika kita menyebut "Raja Jawa" akan terpikir baha sosoknya adalah "Hayam Wuruk" dari Kerajaan Majapahit. Bukan! Mahaprabu Hayam Wuruk bukan Raja Jawa. Ia Raja Nusantara, kecuali wilayah Pajajran atau Sunda-Galuh. Mahaprabu Hayam Wuruk memang berkedudukan di Pulau Jawa, tepatnya di Trowulan, Jawa Timur.

Lalu apa kategori raja Jawa? Raja Jawa adalah seorang penguasa yang menguasai Pulau Jawa saja.

Dalam artikel ini, kita tidak sedang membahas daftar raja-raja yang ada di Pulau Jawa. Pembahasan difokuskan kepada sosok raja yang menguasai seluruh Pulau Jawa.

Secara umum teritorial wilayah Pulau Jawa di mulai dari wilayah Banten sekarang, Jakarta, Jawa Barat, Jawa tengah, DIY Yogyakarta hingga Jawa Timur. Meskipun dalam sistem ketata-negaraan zaman kerajaan tidak mengenal teritorial kewilayahan.

 Baca juga: Ramalan Jayabaya: Terbelahnya Pulau Jawa, Sudah Terbukti?

Pengetahuan yang mendasari representasi wilayah Sunda disemaikan oleh pemerintah Kolonial Belanda dimana penduduk Pulau Jawa terdiri dari Jawa dan Sunda. Artinya kewilayahan yang disepakati oleh masyarakat Sunda merupakan produk dari pemerintah Hindia Belanda.


Sanjaya sebagai Raja Jawa

Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya adalah raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno), yang memerintah dari tahun 717(?) – 746 Masehi. Namanya dikenal melalui prasasti Canggal dan prasasti Mantyasih, serta Naskah Carita Parahyangan.

Di zaman itu, terdapat kerajaan Sunda dan Galuh. Wilayah kerajaan Galuh diyakini berada di sisi barat Sungai Cipamali Brebes sekarang hingga Sungai Citarum di Jawa Barat. Sebelah barat Citarum adalah kerajaan Sunda. Jadi saat itu terdapat 3 kerajaan besar Hindu/Buddha yaitu: Medang, Galuh dan Sunda.

Sementara itu, gelar Sanjaya sebagai raja adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Dapat diperkirakan ketika Sanna (Raja Kerajaan Galuh) masih berkuasa, Sanjaya bertindak sebagai kepala daerah Mataram (daerah Yogyakarta sekarang). Disebutkan pula dalam prasasti Mantyasih bahwa Sanjaya adalah raja pertama yang bertakhta di Kerajaan Medang yang terletak di Pohpitu (‘’rahyangta rumuhun i Medang i Pohpitu’’). Dengan demikian, Pohpitu adalah ibu kota Kerajaan Medang yang dibangun oleh Sanjaya.

Kerajaan Sunda diperintah oleh Prabu Sanghyang Tarusbawa. Menurut versi Carita Parahyangan, Tarusbawa, Raja Sunda, adalah mertua Sanjaya. Sedangkan Sanna alia Bratasenawa, penguasa kerajaan Galuh (Raja Galuh ke-3) adalah Ayah Sanjaya.

Sanjaya menyatukan Kerajaan Medang (Mataram Kuno), Galuh dan Sunda. 

Sanjaya digambarkan sebagai pangeran dari Galuh yang akhirnya berkuasa di Mataram. Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Sena/Sanna/ Bratasenawa, raja Galuh ketiga. Sena adalah putra Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M).

Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa, raja Sunda. Penyerangan ini bertujuan untuk melengserkan Purbasora.

Saat Tarusbawa meninggal pada tahun 723, kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangannya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Dengan demikian "Sang Raja Jawa" pertama adalah Sanjaya. Ia menguasai Pulau Jawa.

Tahun 732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada putranya Rakryan Panaraban (Tamperan). Di Kalingga, Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran. Secara garis besar kisah dari Carita Parahyangan ini sesuai dengan prasasti Canggal.


Raja Mataram islam penguasa Pulau Jawa

Kerajaan Mataram Islam adalah sebuah Kerajaan Islam yang berdiri di Pulau Jawa pada abad ke 16. Kerajaan ini dipimpin oleh suatu dinasti yang mengklaim sebagai keturunan dari Majapahit, yaitu keturununan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan.

Raja Mataram Islam yang paling terkenal adalah Sultan Agung. Di bawah kepemimpinannya, dianggap sebagai masa kejayaan dan keemasan.

Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, lahir: Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593 - wafat: Karta (Plered, Bantul), Kesultanan Mataram, 1645) adalah Sultan ke-tiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu.

Sultan Agung memiliki dua orang permaisuri utama. Yang menjadi Ratu Kulon adalah putri sultan Cirebon, melahirkan Raden Mas Syahwawrat atau "Pangeran Alit". Sedangkan yang menjadi Ratu Wetan adalah putri Adipati Batang (cucu Ki Juru Martani) yang melahirkan Raden Mas Sayidin (kelak menjadi Amangkurat I).

Dalam masa Sultan Agung, seluruh Pulau Jawa sempat tunduk dalam kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia yang masih diduduki militer VOC Belanda. Sedangkan desa Banten telah berasimilasi melalui peleburan kebudayaan. Wilayah luar Jawa yang berhasil ditundukkan adalah Palembang di Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu.

Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang tidak hanya dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian. Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan, sehingga kehidupan rakyat hanya bergantung pada sektor pertanian.

Sultan Agung menaruh perhatian besar pada kebudayaan Mataram. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending.

Di lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa bagongan yang harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat untuk menghilangkan kesenjangan satu sama lain. Bahasa ini digunakan supaya tercipta rasa persatuan di antara penghuni istana.

Sementara itu Bahasa Sunda juga mengalami perubahan sejak Mataram menguasai Jawa Barat. Hal ini ditandai dengan terciptanya bahasa halus dan bahasa sangat halus yang sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah.


Referensi

  1. Atja. 1968. Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi. Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung.
  2. Poesponegoro, Marwati & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  3. Muljana, Slamet. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS
  4. Rahardjo, Supratikno. 2002. ‘’Peradaban Jawa: dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir’’. Depok: Komunitas Bambu. 
  5. Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
  6. M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  7. Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
  8. Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
  9. Pogadaev, V. A. Sultan Agung (1591 - 1645). The Ruler of the Javanese Kingdom; Kris – the sacred weapon of Java; On the Pirates Ship. Istorichesky Leksikon. XVII vek (Historical Lexicon. XVII Century). Moscow: “Znanie”, 1998, p. 20 - 26.



Comments

Popular posts from this blog

Asal usul Uang "Cicis" dalam Budaya Sunda

Inilah 151 istri Prabu Siliwangi? Siapa saja nama-namanya....

Naskah Sanghyang Raga Dewata