Ramalan Jayabaya: Terbelahnya Pulau Jawa, Sudah Terbukti?

[Historiana] - Kepercayaan di Nusantara, khususnya Jawa, bahwa ramalan Jayabaya tentang terlahnya Pulau Jawa masih menggelayuti alam pemikiran selama ini. Mitos terbelahnya Pulau Jawa juga berangkat dari isi Ramalan Jayabaya. Tepatnya pada bait ke-164 yang memuat kalimat:

“…nugel Tanah Jawa kaping pindho…”
Artinya adalah ‘mematahkan Tanah Jawa kedua kali’.

Memang, ada kepercayaan bahwa Pulau Jawa sudah pernah terbelah sebelumnya. Yaitu ketika pulau padat penduduk ini masih bergabung satu daratan dengan Pulau Sumatra. Gunung yang letusannya konon mampu membelah Jawa dan Sumatra ini adalah Gunung Krakatau.

Tetapi itu letusan yang dulu sekali. Bukan letusan besar di tahun 1883 yang kekuatannya disinyalir 30.000 kali lipat kekuatan bom atom Hiroshima-Nagasaki.

Pandangan itu menyandarkan pada pemahaman bahwa terbelahnya Pulau Jawa secara harfiah. Artinya secara fisik, secara geografis dan geologis, tanah Jawa benar-benar terbelah. Tentu saja, kondisi bila hal itu terjadi sangat mengerikan.

"Terbelahnya Pulau Jawa" secara Sosio-kultural

Pernahkah terpikir oleh kita, bahwa ramalan Jayabaya sebanarnya bersifat Sosio-kultural? Pertanyaan ini menggelitik rasa penasaran kita. Sebelum membahasnya, mari kita mencari gambaran penduduk Pulau Jawa pra-kolonialisme.

Penduduk Pulau Jawa, semasa kolonialisme di bawah Raffles, dibuat dikotomi dengan jelas antara Sunda dan Jawa. Istilah Sunda dan Jawa sebagai entitas yang dinyatakan berbeda. Inilah yang menjadi inti dari Judul artikel ini, bahwa "terbelahnya Pulau Jawa" yang kita baca secara sosio-kultural, filosofis dan psikologis sekaligus.

Pembagian wilayah Sunda-Jawa dapat dibaca di Decada yang ditulis Jono de Barros juga Diogo Do Couto, dua orang penulis Portugis ketika Portugis hendak mengadakan perjanjian dengan kerajaan Sunda tahun 1522. Barros, seperti yang dikutip oleh Raffles, pun membagi Jawa menjadi dua pulau yang dibatasi sungai Losari atau Cilosari.

Pulau Jawa "terbelah" dalam 2 etnis besar: Sunda & Jawa
Litografi peta kuno Pulau Jawa karya Johannes Honter, 1561.


Pengetahuan yang mendasari representasi wilayah Sunda disemaikan oleh pemerintah Kolonial Belanda dimana penduduk Pulau Jawa terdiri dari Jawa dan Sunda. Artinya kewilayahan yang disepakati oleh masyarakat Sunda merupakan produk dari pemerintah Hindia Belanda.

Identitas wilayah Sunda yang abstrak dan disandarkan pada pemakai/orang (bahwa seseorang menjadi Sunda karena bahasa yang ia hasilkan) kini dialihkan pada ‘wilayah’. Perbedaan bahasa dimaterialkan dalam bentuk buku cetak dan buku cetak dipusatkan pada realitas perpustakaan yang dibangun di atas sebuah wilayah, sebuah materi yang padat, dimana sebuah identitas mempunyai batas yang jelas.

"Etnis dan wilayah etnis, dalam pandangan saya, selalu dibangun atas pengetahuan tertentu, sedang pengetahuan selalu ditemukan alias tidak asali. Oleh karenanya wilayah etnis Jawa-Sunda tidaklah alamiah." demikian Holy Rafika D. menjelaskan dalam Workeing Paper yang berjudul" Pasundan Bubat : Hybrid Space Sunda-Jawa".

Sebelum zaman kolonialisme barat di Pulau Jawa, tidak dikenal masalah etnis atau kesukuan. Etnis dalam pengertiannya yang umum mungkin bukan kategori yang relevan untuk membicarakan masa pra-kolonial pulau Jawa. Namun, tidak berarti kala itu tidak ada ‘batas kultural’. Sepanjang terdapat order dimana ia meminta adanya kategorisasi atau pembedaan, ‘batas kultural’ pasti ada.

Batas kultural tersebut mungkin dekat kepada apa yang disebut oleh Fredrik Barth; ethnic boundaries yakni "…not the cultural stuff that it encloses. The boundaries…are of course social boundaries, though they may have territorial counterparts". (1969;15). Jorgensen dengan bersandar pada Barth dan penjelasan Verdery (1994) mengemukakan bahwa “Ethnic boundaries are best understood as cognitive or mental boundaries situated in the minds of people and are the result of collective efforts of construction and maintenance” .

‘Batas kultural’ dengan pengertian di atas berarti tergantung pada relasi sosial. Pengertian ini, mendorong kita untuk membahas tatacara pengaturan masyarakat (order) pada jaman dulu. Paling tidak, hal itu mendekatkan saya pada “cognitive or mental boundaries situated in the minds of people”, yang secara sederhana berarti; bagaimana seseorang di Pulau Jawa masa lampau mengidentifikasikan/membedakan dirinya dengan/di antara yang lain. Masalahnya, adakah batas berupa teritorial dalam pengaturan masa lampau di Pulau Jawa? Apakah space di Jawa masa lampau adalah wilayah/territorial seperti pada umumnya sekarang?

Teritorial itu sendiri tidak dikenali di Jawa (dan umumnya Asia Tenggara) masa lampau. Sebagaimana keyakinan OW Wolters (1982) terhadap Mandala sebagai bentuk pengaturan lama di Asia Tenggara. Mandala yang diyakini Wolters menurut Christie adalah “…an unstable circle of kings in a territory without fixed border” (dalam Marr & Millner. 1986; 68, bandingkan dengan Hok Ham 2002: 235) .

Akibat ketiadaan konsep territorial yang fix itu, seperti ditulis George Coedes misalnya, “daftar negeri-negeri bawahan dari Ayutthya (kerajan di Thailand di bawah Ramadhipati pen.) dan Majapahit (di bawah Hayam Wuruk pen.) sebagian saling tumpang tindih di bagian selatan Semenanjung Tanah Melayu” (2010 [1964]; 315).

Atja & Danasasmita (1981: 62) juga mencatat bahwa kesatuan politis di Sunda tidak mempertimbangkan teritorial. Menurut mereka, kesatuan politis lebih mengutamakan manarekha yang diambil dari kata Sanskrit (mana = memikirkan, menduga, menghitung; dan rekha = catat, gores). Term Manarekha ini menurut mereka adalah sama dengan cacah. Lalu apa yang menjadi ‘space’ dalam pengaturan yang tidak mengenali konsep teritorial/wilayah itu?

Dalam konsep Nusantara, adanya pemerintahan negara dalam wujud kedatuan atau kerajaan berdasarkan konsep Mandala. Dalam cara pandang Ke-Mandala-an, antar negara atau kerajaan tidak memilik batas teritorial fisik yang pasti. Berbeda dengan zaman modern ini. Cara pandang kita dipengaruhi cara pandang barat, dimana batas teritorial negara berdasarkan fisik.

Robert Heine Geldern (1963) menulis bahwa dalam konsep Mandala kerajaan di Asia Tenggara, raja menjadi titik pusat/tengah dari empat sudut dalam mandala. Raja (juga kraton/pusat kota) kadang dianggap merepresentasikan Gunung Meru sebagai pusat kosmos dalam sistem pengetahuan Brahmanism-Buddhism. Titik tengah itu, menurut Lombard (dalam Alfan et all (ed); 1987; 327) dikatakan “merupakan golongan yang istimewa”.

Raja/penguasa adalah pusat space, dengan kata lain, space itu sendiri. Kasus tumpang tindihnya wilayah Ayutthya dan Majapahit di abad 14, seperti ditulis Coedes di atas, hanya mungkin terjadi karena kehendak penguasa (titik pusat) kerajaan jajahan tersebut hendak menyembah siapa. Sima di Jawa yang lebih dibatasi desa lain dan bukan luas wilayahnya, sebagaimana ditulis Darmosoetopo, barangkali lebih dikarenakan adanya pandangan bahwa di desa lain tersebut terdapat manifestasi penguasa/‘titik pusat’ yang lain.
Penguasa adalah pusat dan inti. Order seperti ini mau tak mau harus membicarakan dua hal penting; pertama bagaimana penguasa (gusti) dibicarakan dan kedua bagaimana yang dikuasai (kawula) diperlakukan.
Bakker, yang menganalisis Jawa, mengemukakan, ketiadaan batas politis di masa Majapahit menimbulkan “the importance of the conception of divine "kingship" for securing political power and authority in Majapahit”. Muhammad Yamin yang menganalisis Pararaton dan Batu Bertulis Rambahan, Batanghari menyatakan juga: "…Dalam zaman Madjapahit perkataan tuhan bukan sadja nama bagi jang Mahakuasa, melainkan djuga dipakai untuk menjatakan anggota golongan sateria jang dianggap lebih teguh kesaktianja daripada manusia lain-lain…” (Yamin, 1962: 73).

Jika sebuah aturan ditegakkan dengan mendudukkan penguasa ‘seperti tuhan’. Tubuh penguasa secara material harus diyakinkan sebagai bagian dari tuhan. Akibatnya alur genealogi yang menghubungkan penguasa dengan penguasa sebelumnya (karena dianggap sebagai perwujudan tuhan) menjadi dominan dalam penulisan babad (lihat, Santoso, 1979)

Konsepsi genealogi ‘orang terpilih’ dan linuwih/ ini compatible dengan tatacara kuasa Islam –yang masuk setelah Brahmanism-Buddhism. Moertono menunjukkan bagaimana mode kekusaan seperti ini tak hilang begitu saja ketika kesultanan Islam berdiri (Moertono, 1985 [1968]: 35; 62) . Islam sendiri mempunyai wacana kepemimpinan imamah (orang pilihan) dan konsep ilmu laddunny yang merupakan produk dari teologi Syiah (lebih lanjut Adonis, 2007 [1980]: 287) .

Wacana kewilayahan Sunda yang lain muncul dalam artikel berjudul Sadjarah Tjimaneungteung yang terbit pada tanggal 15 April 1915 yang ditulis oleh M Kartaatmadja.
Sungai Cisanggarung itu keluarnya dari pegunungan Cageur di onderdistrik Darma distrik Kadugege (Cirebon), di kepala sungai ini terdapat hutan yang besar dan penuh dengan hewan seperti monyet. Lutung dan sejenisnya, dan disitu ada pekuburan Dalem Cager. Sungai ini mengalir ke utara-timur lewat distrik Losari, disebutnya sungai Cilosari; yang dijadikan batas tanah Bahasa Sunda dan Bahasa Jawa Demi Tjisanggaroeng tea kaloearna ti pagoenoengan Tjageur di onderdistrict Darma district Kadoegede (Cheribon) dina sirah ieu waloengan ngageret kakaian noe galede, sarta pinoeh koe sasatoan, kajaning monjet. Loetoeng djeung sabangsana, djeung didinja teh aja pakoeboerana Dalem Tjageur. Ieu waloengna ngotjor ngaler-ngetan ngaliwatan district Losari, diseboetna Tjilosari; ngadjadikeun wates tanah basa Soenda djeung basa Djawa.
Sunda adalah Jawa Bagian Barat. Teks yang juga penting mengenai kewilayahan Sunda muncul pada tahun 1918, tepatnya pada Tjahaja Pasoendan edisi 15 Maret 1918. Pada edisi ini, Tjahaja Pasoendan menerbitkan kembali tulisan yang dimuat di Surat Kabar Padjadjaran yang berjudul Robahan Paparentahan.

Artikel tersebut menyoal perubahan pemerintahan di Hindia Belanda kala itu. Artikel itu mengutip pula kebijakan desentralisasi di Hindia Belanda yang sebenarnya mulai diberlakukan pada 1903. Karena Hindia terdiri dari banyak bangsa, budaya dan ragam adat istiadat, maka pemerintah Belanda hendak menuntun pada terbentuknya sebuah federasi.

Artikel tersebut meneruskan bahwa tanah Jawa akan dibagi menjadi tiga propinsi, yakni:

  1. Pasundan (Banten, betawi, Cirebon dan Priangan); 
  2. Kajawen (batasnya dari Timur Surabaya dan Kediri); 
  3. Bangwetan (Soerabaya, Kediri, Pasuruan, Besuki dan Madura). 
Lebih jauh, artikel tersebut mengingatkan bahwa jika harus mengingat adat istiadat, keadaan dan kemajuannya, bangsa pulau Jawa harusnya dibagi menjadi 4 bagian yaitu;
  1. Jawa barat atau pasundan (banten, Betawi, Cirebon, dan Priangan); 
  2. Semarang (karesidenan Banyumas, Kedu, Pekalongan dan Semarang); 
  3. Surabaya (Kediri, Rembang, Madiun dan Surabaya); 
  4. Jawa Timur atau Madura (Pasuruan, Besuki dan Madura).

Artikel tersebut juga dibubuhi tabel sensus penduduk yang selesai dilaksanakan pada tahun 1917.


Barros membaca Pulau Jawa sebagai “wilayah-wilayah agama”, untuk itu ia kemudian menggunakan istilah-istilah seperti ‘Mahomedan’ atau ‘Moors’. Kategori yang timbul dari jejak ‘semangat perang Salib’ Barros ini yang kemudian digunakan Raffles. Namun tidak dengan gugus pandang yang sama dengan Barros dan Couto. Term ‘Mahomedan’ memang masih dipakai di History of Java, tetapi ia tidak mendapat porsi yang banyak di tangan Raffles ketimbang apa yang dilakukan penulis Portugis. Raffles tidak membangun agama sebagai dasar batas Sunda dan Jawa, ia mengubah ‘batas agama’ menjadi ‘batas budaya’ dengan memperluas wacana perbedaan Sunda dan Jawa dengan bahasa dan kebudayaan.

’Batas administrasi’ yang dibayangkan Raffles dan dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda yang barangkali ditujukan untuk efisiensi birokrasi, sekarang malah diyakini sebagai ’darah’ yang sudah takdirnya mengalir dalam tubuh ”manusia Jawa” dan ”manusia Sunda”. Pasundan Bubat sendiri adalah sebuah ruang dimana percampuran yang lama dan yang baru jadi satu. Pasundan Bubat adalah sebuah hybrid space bagi pembicaraan etnis di Pulau Jawa; dimana ramalan Jayabaya mengenai pecahnya Pulau Jawa jadi dua, barangkali, mendapatkan artinya.

Referensi

  1. Adonis.  2007  1980.  "Arkeologi  Sejarah-Pemikiran  Arab-Islam".  Terj.  Khairon Nahdiyyin. Yogyakarta: LKiS.
  2. Alfian,  T  Ibrahim  et  All  (ed).  1987.  "Dari  Babad  dan  Hikayat  Sampai  Sejarah Kritis: Kumpulan Karangan" Dipersembahkan Kepada Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
  3. Atja & Danasasmita, Saleh 1981."Sanghyang Siksakanda Ng Karesian; Naskah Sunda Kuno Tahun 1518 Masehi". Atja
  4. Darmosoetopo, Riboet.  2003. "Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X TU". Jogjakarta: Prana Pena
  5. Dhona, Rafika holly. "Pasundan Bubat : Hybrid Space Sunda-Jawa". 2012. Working Paper. researchgate.net Diakses 7 November 2017.
  6. Dhona, Holy R. 2016. "Wilayah Sunda dalam Surat Kabar Sunda Era Kolonial". Universitas Islam Indonesia. Jurnal Komunikasi, Volume 11, Nomor 1, Oktober 2016. P-ISSN: 1907-898X, E-ISSN: 2548-7647  researchgate.net Diakses 7 November 2018.
  7. Raffles, T. S. 1830 (1817). "The History of Java: 2 Volume". London: Black.
  8. Santoso,  Soewito.  1979. "Babad  Tanah  Jawi (Galuh  Mataram)".  Surakarta: Citra Jaya
  9. Wolters, O. W. 1982. "History, culture, and region in Southeast Asian perspectives". Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
  10. Yamin,  Prof.  H.M  Muhammad.  1969.  "Tatanegara  Majapahit  Saptaparwa  I". Djakarta : Jajasan Prapantja 

Comments

Popular posts from this blog

Asal usul Uang "Cicis" dalam Budaya Sunda

Inilah 151 istri Prabu Siliwangi? Siapa saja nama-namanya....

Naskah Sanghyang Raga Dewata