Zaman Hindu-Buddha di Bandung (DAS Ci Tarum)
[Historiana]- Mari kita menelususuri Zaman Hindu-Buddha di Kabupaten Bandung. Daerah Aliran Sungai Citarum (DAS Ci Tarum) menjadi titik peradaban kuno di Kabupaten Bandung. Banyak terdapat situs peninggalan budaya Sunda Hindu-Buddha di Kabupaten Bandung.
Situs-situs di Kabupaten Bandung:
Keberadaan kawasan Kabuyutan atau selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Kedan di Nagreg Kabupaten Bandung bisa jadi titik awal penelusuran artefak di Bandung ini.
Resi Maha Guru Manikmaya, Raja Pertama Kendan Sang Resiguru Manikmaya datang dari Jawa Timur. Ia berasal dari keluarga Calankayana, India Selatan. Sebelumnya, ia telah mengembara, mengunjungi beberapa negara, seperti: Gaudi (Benggala), Mahasin (Singapura), Sumatra, Nusa Sapi (Ghohnusa) atau Pulau Bali, Syangka, Yawana, Cina, dan lain-lain. Resiguru Manikmaya menikah dengan Tirtakancana, putri Maharaja Suryawarman, penguasa ke-7 Tarumanagara (535-561 M). Oleh karena itu, ia dihadiahi daerah Kendan (suatu wilayah perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung), lengkap dengan rakyat dan tentaranya.
Resiguru Manikmaya, dinobatkan menjadi seorang Rajaresi di daerah Kendan. Sang Maharaja Suryawarman, menganugerahkan perlengkapan kerajaan berupa mahkota Raja dan mahkota Permaisuri. Semua raja daerah Tarumanagara, oleh Sang Maharaja Suryawarman, diberi tahu dengan surat. Isinya, keberadaan Rajaresi Manikmaya di Kendan, harus diterima dengan baik. Sebab, ia menantu Sang Maharaja, dan mesti dijadikan sahabat. Terlebih, Sang Resiguru Kendan itu, seorang Brahmana ulung, yang telah banyak berjasa terhadap agama. Siapa pun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan.
Resiguru Manikmaya memerintah di Kerajaan Kendan selama 32 tahun (536-568 Masehi). Setelah resiguru wafat, Sang Baladika Suraliman menjadi raja menggantikan ayahnya di Kendan. Penobatan Rajaputra Suraliman, berlangsung pada tanggal 12 bagian gelap bulan Asuji tahun 490 Saka (tanggal 5 Oktober 568 M.). Sang Suraliman terkenal selalu unggul dalam perang. Dalam perkawinannya dengan putri Bakulapura (Kutai, Kalimantan), yaitu keturunan Kudungga yang bernama Dewi Mutyasari, Sang Suraliman mempunyai seorang putra dan seorang putri. Anak sulungnya yang laki-laki diberi nama Sang Kandiawan. Adiknya diberi nama Sang Kandiawati.
Sang Kandiawan, disebut juga Rajaresi Dewaraja atau Sang Layuwatang. Sedangkan Sang Kandiawati, bersuamikan seorang saudagar dari Pulau Sumatra, tinggal bersama suaminya. Sang Suraliman, menjadi raja Kendan selama 29 tahun (tahun 568-597 M). Kemudian ia digantikan oleh Sang Kandiawan yang ketika itu telah menjadi raja daerah di Medang Jati atau Medang Gana. Oleh karena itu, Sang Kandiawan diberi gelar Rahiyangta ri Medang Jati.
Setelah Sang Kandiawan menggantikan ayahnya menjadi penguasa Kendan, ia tidak berkedudukan di Kendan, melainkan di Medang Jati (Kemungkinan di Cangkuang, Bandung). Penyebabnya adalah karena Sang Kandiawan pemeluk agama Hindu Wisnu. Sedangkan wilayah Kendan, pemeluk agama Hindu Siwa. Boleh jadi, temuan fondasi candi Bojong Menje oleh Balai Arkeologi Bandung, terkait dengan keagamaan masa silam Kendan.
Sebagai penguasa Kendan ketiga, Sang Kandiawan bergelar Rajaresi Dewaraja. Ia punya lima putra, masing-masing bernama Mangukuhan, Karungkalah, Katungmaralah, Sandanggreba, dan Wretikandayun. Kelima putranya, masing-masing menjadi raja daerah di Kulikuli, Surawulan, Peles Awi, Rawung Langit, dan Menir. Kemungkinan, lokasi kerajaan bawahan Kendan tersebut berada di sekitar Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut.
Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Kendan pada tanggal 23 Maret 612 Masehi, dalam usia 21 tahun. Malam itu, bulan sedang purnama. Esok harinya, matahari terbit, tepat di titik timur garis ekuator. Sang Wretikandayun tidak berkedudukan di Kendan ataupun di Medang Jati, tidak juga di Menir. Ia mendirikan pusat pemerintahan baru, kemudian diberi nama Galuh (harfiah : permata, Kerajaan Galuh). Lahan pusat pemerintahan yang dipilihnya diapit oleh dua batang sungai yang bertemu, yaitu Citanduy dan Cimuntur. Lokasinya yang sekarang, di desa Karang Kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis.
Sebagai Rajaresi, Sang Wretikandayun memilih istri, seorang putri pendeta bernama Manawati, putri Resi Makandria. Manawati dinobatkan sebagai permaisuri dengan nama Candraresmi. Dari perkawinan ini, Sang Wretikandayun memperoleh tiga orang putra, yaitu Sempakwaja (lahir tahun 620 M), Jantaka, (lahir tahun 622 M), dan Amara (lahir tahun 624 M).
Ketika Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai Raja Kendan di Galuh, penguasa di Tarumanagara saat itu, adalah Sri Maharaja Kertawarman (561-628 M). Sebagai Raja di Galuh, status Sang Wretikendayun adalah sebagai raja bawahan Tarumanagara. Berturut-turut, Sang Wretikandayun menjadi raja daerah, di bawah kekuasaan Sudawarman (628-639 M), Dewamurti (639-640 M), Nagajayawarman (640-666 M), dan Linggawarman (666-669 M).
Ketika Linggawarman digantikan oleh Sang Tarusbawa, umur Sang Wretikandayun sudah mencapai 78 tahun. Ia mengetahui persis tentang Tarumanagara yang sudah pudar pamornya. Apalagi Sang Tarusbawa yang lahir di Sunda Sembawa dan mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Ini merupakan peluang bagi Sang Wretikandayun untuk membebaskan diri (mahardika) dari kekuasaan Sang Tarusbawa.
Sang Wretikendayun segera mengirimkan duta ke Pakuan (Bogor) sebagai ibu kota Kerajaan Sunda (lanjutan Tarumanagara) yang baru, menyampaikan surat kepada Sang Maharaja Tarusbawa. Isi surat tersebut menyatakan bahwa Galuh memisahkan diri dari Kerajaan Sunda, menjadi kerajaan yang mahardika.
Sang Maharaja Tarusbawa adalah raja yang cinta damai dan adil bijaksana. Ia berpikir, lebih baik membina separuh wilayah bekas Tarumanagara daripada menguasai keseluruhan, tetapi dalam keadaan lemah. Tahun 670 Masehi, merupakan tanda berakhirnya Tarumanagara. Kemudian muncul dua kerajaan penerusnya, Kerajaan Sunda di belahan barat dan Kerajaan Galuh di belahan timur, dengan batas wilayah kerajaan Sungai Citarum. Pada tahun 1482, kedua kerajaan ini dipersatukan oleh Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), menjadi Kerajaan Sunda Pajajaran.
Kisah lengkap Kerajaan Kendan bersumber pada naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 4 (naskah wangsakerta).
Suryawarman (535 - 561 M) Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam tahun 536 M, misalnya, Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut.
Sedangkan putera Manikmaya, tinggal bersama kakeknya di ibukota Tarumanagara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612M. Selanjutnya pada tahun 561 untuk Kerajaan Tarumanegara dilanjutkan kekuasaannya oleh putranya Kertawarman (maut 628) ialah raja Kerajaan Tarumanagara yang kelapan yang mewarisi bapaknya, Suryawarman yang mangkat pada tahun 561 dan memerintah selama 67 tahun antara tahun-tahun 561 - 628.
Raja Putra Suraliman Th.568 M - Th.597 M, menikah dengan Dewi Mutyasari Putri dari Kerajaan Kutai Bakula Putra bergelar Raja Resi Dewa Raja Sang Luyu Tawang Rahiyang Tari Medang Jati, mempunyai 1 orang anak laki-laki bernama Kandiawan dan 1 orang anak Perempuan bernama Kandiawati, menguasai Nagreg dan sampai Medang Jati Garut Jawa Barat.Hal ini berdasarkan Carita Kabuyudan Sanghyang Tapak.
Raja Kandiawan Th.597 M - Th. 612 M, memindahkan Pusat Kerajaan Kendan dari desa Citaman Nagreg ke Medang Jati di Cangkuang Garut Jawa Barat. Hal ini terbukti dari Situs Candi Cangkuang Garut didesa Bojong Mente Cicalengka kabupeten Garut Jawa Barat. Raja Kandiawan mempunyai 5 orang Putra yaitu ; Mangukuhan, Sandang Greba, Karung Kalah, Katung Maralah dan Wretikandayun, yang masing-masing memerintah dan terbagi 5 daerah yaitu ; Surawulan, Pelas Awi, Rawung Langit, Menir dan Kuli-kuli. Pada Akhir tahtanya ditunjuk Putra bungsu Wretikandayun sebagai Raja Kendan / Kelang dan Sang Raja Kandiawan bertapa di Bukit Layuwatang, Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Namun pada saat bersamaan di pesisir selatan wilayah Tarumanagara (Cilauteureun, Leuweung / Hutan Sancang dan Gunung Nagara) secara perlahan Agama Islam diperkenalkan oleh Rakeyan Sancang putra Kertawarman
Raja Wretikandayun Th.612 M - Th. 702 M, memindahkan lagi Pusat Kerajaan Kendan / Kelang ke Galuh didesa Karang Kamulyaan , kecamatan Cijeungjing, Ciamis Jawa Barat sekarang ini, dengan Permaisuri Dewi Minawati anak dari Pendeta Hindu yaitu Resi Mekandria dan menurunkan 3 orang Putra yaitu ; Sampakwaja menjadi Resi Guru wanayasa, Amara menjadi Resi Guru Deneuh dan Jantaka/ Mandiminyak. Hal ini berdasarkan Pusaka Naga Sastra, Pada masa itu Kerajaan Kendan / Kelang berubah nama menjadi Kerajaan Galuh. Sedangkan Pada tahun 670 Masehi Kerajaan Induk Kendan / Kelang / Galuh ini yaitu Taruma Nagara saat itu diperintah oleh Tarusbawa telah berubah menjadi Kerajaan Sunda dan menyetujui Pemisahan Kerajaan bawahannya Kendan / Kelang menjadi Kerajaan Galuh, sehingga Kerajaan menjadi 2 bagian yaitu ;
Kerajaan Sunda bekas Kerajaan Tarumanagara dengan Rajanya Sri Maharaja Tarusbawa, menguasai wilayah pada bagian Barat, Ibu kota Bogor, Jawa Barat, berkuasa sampai tahun 723 M, hal terbut berdasarkan carita Parahiyangan, sedangkan menurut Prasasti Jaya Bupati yang ditemukan di Cibadak Sukabumi tidak menyebutkan Ibu kota kerajaan di Bogor.
Kerajaan Galuh bekas Kerajaan Kendan / Kelang dengan Rajanya Wretikandayun, menguasai wilayah bagian Timur, ibu kota Kawali di Ciamis, Jawa Barat. sehingga Raja Wretakandayun berani melepaskan diri dari Tarumanagara. Menurut Carita Parahiyangan, Putra Mahkota Galuh Mandiminyak menikah dengan Parwati putri Maharani Shima Putri dari Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, pernikahan melahirkan Rahyang Sena atau Bratasena yang berputra Sanjaya, Sanjaya adalah raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno), yang memerintah sekitar tahun 730-an. Namanya dikenal melalui prasasti Canggal ataupun naskah Carita Parahyangan. Sebagian para sejarawan menganggap Sanjaya sebagai pendiri Wangsa Sanjaya,
Sri Baduga Maharaja yang dikenal sebagai Prabu Siliwangi Kedua Kerajaan ini lalu disatukan menjadi Kerajaan Sunda Pajajaran pada tahun 1482 Masehi. hal ini berdasarkan carita Parahiayangan.
Mandala mengandung pengertian “Kabuyutan” atau “Tanah suci”, segala hal, benda atau perbuatan yang dapat menodai kesuciannya harus dilarang atau dianggap “buyut”. Mandala kendan sekarang terletak di kecamatan Nagreg, di atas ketinggian 1200dpl, dengan luas wilayah (± 4.930,29 Ha),yang terbagi atas : hutan rakyat (± 907,37 ha) dan tanaman tahunan/perkebunan (± 1.727,54 ha). Status ke-mandala-an kendan sudah dipangku jauh sejak kerajaan karesian kendan didirikan, daerah ini sangat dilindungi sebagai tempatnya para resi luhung ilmu (diterangkan dalam naskah carita parahyangan).
Barulah kemudian tahun ±512 M, yaitu pada masa raja Tarumanagara ke-9 ; Suryawarman, mandala kendan diberikan kepada seorang Resi yang bernama Manik Maya seorang penganut hindu shiwa yang taat, atas penikahannya dengan seorang putri dari Maharaja yang bernama Tirta Kencana. Daerah ini dianugerahkan sebagai sebuah hadiah pernikahan, diberikan lengkap dengan para prajuritnya. Sejak masa itu Mandala kendan menjadi sebuah kerajaan karesian di bawah perlindungan Maharaja Suryawarman, bukan sebagai sebuah kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Tarumanagara tetapi satu mandala yang sangat dihormati bahkan dilindungi oleh raja-raja pada masa itu :
“ Hawya Ta Sira Tinenget: janganlah ia ditolak, karena dia itu menantu maharaja, mesti dijadikan sahabat, lebih-lebih karena sang resiguru Kendan itu, seorang Brahmana yang ulung dan telah banyak berjasa terhadap agama. Siapapun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan” (carita parahyangan;Danasasmita, 1983:41)
Selanjutnya Kendan menjadi tempatnya para prajurit Tarumanegara untuk ditempa penyucian dan penggemblengan. Salah satu kitab yang terkenal yang disusun oleh Resiguru Manik Maya adalah Pustaka Ratuning Bala Sarewu, yaitu sebuah kitab yang berisi bagaimana caranya membangun sebuah negara dengan para prajuritnya yang sangat kuat. Dari mandala ini dilahirkan para Yudhapena atau panglima perang laut di Tarumanagara, salah satunya yaitu Raja Putra, Sang Baladhika Suraliman, putra pertama Resiguru Manik Maya.
Kemudian kitab ini pula yang memandu Sanjaya keturunan ke-6 dari Kendan, dalam menyatukan kembali Sunda dan Galuh atas bimbingan Rabuyut Sawal ( Masa Sanjaya adalah masa puncak kejayaan bersatunya kembali raja-raja di Jawa ). Berikut keterangan dalam naskah carita parahyangan terkait raja-raja di Kendan:
“Ndeh Nihen carita parahyangan. Sang Resiguru mangyuga Rajaputra. Miseuweukeun Sang Kandiawan lawan Sang Kandiawati, sida sapilanceukan. Ngangaranan maneh Rahyangta Dewaraja. Basa lumaku ngarajaresi ngangaranan maneh Rahyangta Ri Medangjati, inya sang Layuwatang. Nya nu nyieun Sanghyang Watang Ageung ”
“ya, inilah kisah para leluhur. Sang Resiguru beranak Rajaputra. Rajaputra beranak Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati, sepasang kakak beradik. Sang Kandiawan menamakan dirinya Rahyangta Dewaraja. Waktu ia menjadi Rajaresi menamakan dirinya Rahyangta di Medangjati. Yaitu Sang Layungwatang. Dialah yang membangun balairung besar”. (Carita parahyangan, Atja,Danasasmita, 1983:37-38 )
Raja Kendan berstatus Rajaresi atau Raja sekaligus Resi. Raja pertamanya adalah Resiguru Manik Maya, atas pernikahanya dengan Tirta Kencana mempunyai anak bernama Suraliman, kemudian oleh kakeknya Maharaja Tarumanagara ia dianugerahi sebagai Yudhapena atau Panglima laut kerajaan Tarumanegara, ia kemudian menikah dengan Mutyasari seorang putri dari Kudungga, dari pernikahannya ia dianugerahi putra yang bernama Kandiawan yang kemudian di Rajaresikan di Kendan dan putri dengan nama Kandiawati. Kandiawan mempunyai beberapa orang anak yaitu Sang Mangukuhan, Sang Kangkalah, Sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba dan Sang Wretikendayun, yang kemudian di Rajaresikan di Kendan.
Pada masa Wretikendayun terjadi perubahan berarti dalam perkembangan sejarah Kendan, yang diakibatkan adanya pewarisan tahta Tarumanagara kepada bukan wangsa warman. Pada tahun 669 di Tarumanagara dirajakan seorang muda Tarusbawa, putra daerah dari sundapura, ibu kota Tarumanagara saat itu. Diangkatnya Tarusbawa menimbulkan pergolakan dari kerajaan-kerajaan bawahan Tarumanagara, Tarusbawa yang kemudian mendapat gelar Maharaja Tarusbawa Sunda Sembada Manumanggalajaya, karena keputusannya mengubah nama Tarumanagara menjadi kerajaan Sunda, semakin menimbulkan pergolakan. Yang pada akhirnya akibat dari perubahan tersebut, Wretikendayun sebagai Rajaresi Kendan memutuskan untuk me-Mahardika-kan diri, dengan mendirikan Kerajaan Galuh di ibu kota barunya, sebelah timur Kendan, yaitu di antara sungai Cimuntur dan Citanduy.
Sebuah surat dikirimkan kepada Tarusbawa yang berisi peringatan dan keputusan pemisahan daerah “Karunya Ning Caritra”, yang isinya “Mulai hari ini Galuh berdiri sebagai sebuah kerajaan yang Mahardika, tidak berada di bawah kerajaan pakanira lagi, janganlah pasukan tuan menyerang Galuh, karena pasukan Galuh jauh lebih kuat dari pasukan Sunda, ditambah Galuh di dukung oleh kerajaan-kerajaan disebelah timur Citarum...hendaknya kita rukun hidup berdampingan”
Atas keputusan tersebut maka pada tahun 670 M, berdirilah dua buah kerajaan besar di Jawa, dengan Citarum sebagai pembatasnya. Dari Citarum ke arah barat menjadi kerajaan Sunda sedang dari Citarum ke arah timur menjadi kerajaan Galuh. Sementara Mandala Kendan, tetap menjadi sebuah daerah yang dilindungi oleh kedua kerajaan tersebut. Kemudian hari Sunda dan Galuh pada masa Sanjaya dapat dipersatukan kembali, setelah terjadi pemberontakan dan perang saudara antar keturunan Galuh.
Perebutan, perubahan kerajaan tindak lantas mengubah keadaan, Kendan tetap sebagai sebuah Mandala yang sepakat dilindungi. Namun kemudia sejak Pajajaran runtuh tahun 1579, status ke-mandala-an, mengalami perubahan, bahkan beberapa tempat seperti hal nya di Kanekes, tidak lagi diakui oleh para penguasa selanjutnya. Sejak saat itu berbagai kepentingan “penguasa” tidak lagi sejalan dalam melindungi “kesucian” Mandala.
Lihat juga videonya
Dalam kropak 406 dan kropak 630, tercatat Patanjala adalah nama seorang Resi murid Siwa yang berjumlah 5 orang, namun tidak tercatat dalam Practical Sanskrit Dictionary Macdonell. Kata “Patanjala” berarti air jatuh atau air hujan (pata=jatuh:jala=air), sementara di dalam sejarah Jawa Barat ada dua orang raja yang dianggap penjelmaan dari Patanjala, yaitu Wretikendayun raja ke-4 Kendan ( pendiri Galuh ) dan Darmasiksa atau Maharaja Tarusbawa Sunda Sembada Manumanggalajaya ( Pendiri Sunda ).
Penulis kropak 632 bahkan menganggap Patanjala sebagai daya-hidup sehingga tokoh ini dalam kepercayaan orang sunda silam menggeser posisi Siwa dan Wisnu.Dalam lakon Lutung Kasarung versi pantun Kanekes, tokoh Guru Minda di sebut Guru Minda Patanjala. Khusus di daerah Tangtu lakon itu tergolong sakral karena isinya berkaitan dengan perawatan tanaman padi dan pengurusannya setelah panen. Tersirat disini hubungan antara Patanjala, yang turun ke dunia untuk mengajarkan tata cara penanaman padi dan pemeliharaannya agar sesuai dengan kehendak Nyi Pohaci Sang Hyang Asri.
Dalam pantun Bogor, Batara Kuwera yang dianggap sebagai Dewa Hujan atau Dewa air dan kemakmuran di kisahkan sebagai “suami” Nyi Pohaci Hyang Asri. Dalam hal ini pun kita melihat bagaimana “gaib”, pelindung padi dijodohkan dengan “gaib” pelindung hujan atau air, pelindung hujan atau air hanya berbeda nama.Upacara “seren taun”, dalam versi pantun Bogor dinamakan “Guru Bumi” yang berlangsung selama 9 hari dan ditutup dengan upacara “Kuwera” bakti pada bulan purnama. Upacara ini meliputi “syukuran” atas keberhasilan panen yang dipandang sebagai anugerah dari Dewa Kuwera.
Begitu pula pada upacara Nuras sesungguhnya adalah satu bentuk upacara syukuran bagaimana seharusnya merawat Patanjala (air) sebutan lain bagi Wretikendayun dan Nyi Pohaci Sang Hyang Asri (Padi).
Situs-situs di Kabupaten Bandung:
- Situs Tenjolaya, Cicalengka: arca Durgā (batu).
- Situs Cicalengka: arca Agastya (batu).
- Situs Cibeet, Cicalengka: arca Gaṇeśa (batu).
- Situs Ciparay: arca Śiwa Mahāguru (batu).
- Situs Cibodas: arca Śiwa Mahādewa (batu).
- Situs Pasir Manglayang, Ujungberung: arca Śiwa Mahādewa dan Nandi (batu).
- Situs Pamoyanan, Ujungberung: arca Śiwa dan Durgā (batu).
- Situs Bojongmaenje, Rancaekek: candi agama Hindu, fragmen arca Naṇḍi dan fragmen Yoni (batu).
- Situs Ciparay: arca Śiwa Mahāguru (batu).
- Situs Leuwigajah, Cimahi: arca Gaṇeśa, Kuwera, Buddha, Awalokiteśwara, dan kinnarī (perunggu).
- Situs Prasasti Cikapundung: Cimaung, Kelurahan Taman Sari, Kecamatan Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat (batu).
Keberadaan kawasan Kabuyutan atau selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Kedan di Nagreg Kabupaten Bandung bisa jadi titik awal penelusuran artefak di Bandung ini.
Reruntuhan Candi Bojongmenje Rancaekek Bandung Foto: jabarprov.go.ig |
Resiguru Manikmaya, dinobatkan menjadi seorang Rajaresi di daerah Kendan. Sang Maharaja Suryawarman, menganugerahkan perlengkapan kerajaan berupa mahkota Raja dan mahkota Permaisuri. Semua raja daerah Tarumanagara, oleh Sang Maharaja Suryawarman, diberi tahu dengan surat. Isinya, keberadaan Rajaresi Manikmaya di Kendan, harus diterima dengan baik. Sebab, ia menantu Sang Maharaja, dan mesti dijadikan sahabat. Terlebih, Sang Resiguru Kendan itu, seorang Brahmana ulung, yang telah banyak berjasa terhadap agama. Siapa pun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan.
Penerus tahta Kerajaan Kendan
Dari perkawinannya dengan Tirtakancana, Sang Resiguru Manikmaya Raja Kendan, memperoleh keturunan beberapa orang putra dan putri. Salah seorang di antaranya bernama Rajaputera Suraliman. Dalam usia 20 tahun, Sang Suraliman dikenal tampan dan mahir ilmu perang. Sehingga, ia diangkat menjadi Senapati Kendan, kemudian diangkat pula menjadi Panglima Balatentara (Baladika) Tarumanagara.Resiguru Manikmaya memerintah di Kerajaan Kendan selama 32 tahun (536-568 Masehi). Setelah resiguru wafat, Sang Baladika Suraliman menjadi raja menggantikan ayahnya di Kendan. Penobatan Rajaputra Suraliman, berlangsung pada tanggal 12 bagian gelap bulan Asuji tahun 490 Saka (tanggal 5 Oktober 568 M.). Sang Suraliman terkenal selalu unggul dalam perang. Dalam perkawinannya dengan putri Bakulapura (Kutai, Kalimantan), yaitu keturunan Kudungga yang bernama Dewi Mutyasari, Sang Suraliman mempunyai seorang putra dan seorang putri. Anak sulungnya yang laki-laki diberi nama Sang Kandiawan. Adiknya diberi nama Sang Kandiawati.
Sang Kandiawan, disebut juga Rajaresi Dewaraja atau Sang Layuwatang. Sedangkan Sang Kandiawati, bersuamikan seorang saudagar dari Pulau Sumatra, tinggal bersama suaminya. Sang Suraliman, menjadi raja Kendan selama 29 tahun (tahun 568-597 M). Kemudian ia digantikan oleh Sang Kandiawan yang ketika itu telah menjadi raja daerah di Medang Jati atau Medang Gana. Oleh karena itu, Sang Kandiawan diberi gelar Rahiyangta ri Medang Jati.
Setelah Sang Kandiawan menggantikan ayahnya menjadi penguasa Kendan, ia tidak berkedudukan di Kendan, melainkan di Medang Jati (Kemungkinan di Cangkuang, Bandung). Penyebabnya adalah karena Sang Kandiawan pemeluk agama Hindu Wisnu. Sedangkan wilayah Kendan, pemeluk agama Hindu Siwa. Boleh jadi, temuan fondasi candi Bojong Menje oleh Balai Arkeologi Bandung, terkait dengan keagamaan masa silam Kendan.
Sebagai penguasa Kendan ketiga, Sang Kandiawan bergelar Rajaresi Dewaraja. Ia punya lima putra, masing-masing bernama Mangukuhan, Karungkalah, Katungmaralah, Sandanggreba, dan Wretikandayun. Kelima putranya, masing-masing menjadi raja daerah di Kulikuli, Surawulan, Peles Awi, Rawung Langit, dan Menir. Kemungkinan, lokasi kerajaan bawahan Kendan tersebut berada di sekitar Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut.
Pendahulu Kerajaan Galuh
Sang Kandiawan menjadi raja hanya 15 tahun (597-612 M). Tahun 612 Masehi, ia mengundurkan diri dari tahta kerajaan, lalu menjadi pertapa di Layuwatang Kuningan. Sebagai penggantinya, ia menunjuk putra bungsunya, Sang Wretikandayun, yang waktu itu sudah menjadi rajaresi di daerah Menir.Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Kendan pada tanggal 23 Maret 612 Masehi, dalam usia 21 tahun. Malam itu, bulan sedang purnama. Esok harinya, matahari terbit, tepat di titik timur garis ekuator. Sang Wretikandayun tidak berkedudukan di Kendan ataupun di Medang Jati, tidak juga di Menir. Ia mendirikan pusat pemerintahan baru, kemudian diberi nama Galuh (harfiah : permata, Kerajaan Galuh). Lahan pusat pemerintahan yang dipilihnya diapit oleh dua batang sungai yang bertemu, yaitu Citanduy dan Cimuntur. Lokasinya yang sekarang, di desa Karang Kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis.
Sebagai Rajaresi, Sang Wretikandayun memilih istri, seorang putri pendeta bernama Manawati, putri Resi Makandria. Manawati dinobatkan sebagai permaisuri dengan nama Candraresmi. Dari perkawinan ini, Sang Wretikandayun memperoleh tiga orang putra, yaitu Sempakwaja (lahir tahun 620 M), Jantaka, (lahir tahun 622 M), dan Amara (lahir tahun 624 M).
Ketika Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai Raja Kendan di Galuh, penguasa di Tarumanagara saat itu, adalah Sri Maharaja Kertawarman (561-628 M). Sebagai Raja di Galuh, status Sang Wretikendayun adalah sebagai raja bawahan Tarumanagara. Berturut-turut, Sang Wretikandayun menjadi raja daerah, di bawah kekuasaan Sudawarman (628-639 M), Dewamurti (639-640 M), Nagajayawarman (640-666 M), dan Linggawarman (666-669 M).
Ketika Linggawarman digantikan oleh Sang Tarusbawa, umur Sang Wretikandayun sudah mencapai 78 tahun. Ia mengetahui persis tentang Tarumanagara yang sudah pudar pamornya. Apalagi Sang Tarusbawa yang lahir di Sunda Sembawa dan mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Ini merupakan peluang bagi Sang Wretikandayun untuk membebaskan diri (mahardika) dari kekuasaan Sang Tarusbawa.
Sang Wretikendayun segera mengirimkan duta ke Pakuan (Bogor) sebagai ibu kota Kerajaan Sunda (lanjutan Tarumanagara) yang baru, menyampaikan surat kepada Sang Maharaja Tarusbawa. Isi surat tersebut menyatakan bahwa Galuh memisahkan diri dari Kerajaan Sunda, menjadi kerajaan yang mahardika.
Sang Maharaja Tarusbawa adalah raja yang cinta damai dan adil bijaksana. Ia berpikir, lebih baik membina separuh wilayah bekas Tarumanagara daripada menguasai keseluruhan, tetapi dalam keadaan lemah. Tahun 670 Masehi, merupakan tanda berakhirnya Tarumanagara. Kemudian muncul dua kerajaan penerusnya, Kerajaan Sunda di belahan barat dan Kerajaan Galuh di belahan timur, dengan batas wilayah kerajaan Sungai Citarum. Pada tahun 1482, kedua kerajaan ini dipersatukan oleh Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), menjadi Kerajaan Sunda Pajajaran.
Kisah lengkap Kerajaan Kendan bersumber pada naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 4 (naskah wangsakerta).
Ringkasan Kerajaan Kendan
Candrawarman (515-535 M) Pada saat kekuasaanya / pemerintahannya tahun 535 M terjadinya Meletus Gunung Krakatau yang sangat dasyat yang menyebabkan tsunami yang sangat besar dan berdampak pada seluruh dunia.Suryawarman (535 - 561 M) Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam tahun 536 M, misalnya, Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut.
Sedangkan putera Manikmaya, tinggal bersama kakeknya di ibukota Tarumanagara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612M. Selanjutnya pada tahun 561 untuk Kerajaan Tarumanegara dilanjutkan kekuasaannya oleh putranya Kertawarman (maut 628) ialah raja Kerajaan Tarumanagara yang kelapan yang mewarisi bapaknya, Suryawarman yang mangkat pada tahun 561 dan memerintah selama 67 tahun antara tahun-tahun 561 - 628.
Raja-Raja Kerajaan Kendan
Raja Maha Guru Manikmaya Th.536 M - Th.568 M, berasal dari keluarga Calankayana di India Selatan adalah seorang Pemuka Agama Hindu, karena Jasa-jasanya dalam menyebarkan Agama Hindu ditanah Jawa, Raja Tarumanagara pada waktu itu adalah Suryawarman menikahkan Putrinya yang bernama Tirta Kancana kepada Maha Guru Manikmaya ini sebagai Istri dan memperkenankan sang Menantu mendirikan Kerajaan Kendan ditambah sebagian dari Prajurit Taruma Nagara sebagai Pelindung Kerajaan Kendan, dan Maha Guru Manikmaya ini mempunyai Putra Mahkota yang bernama Raja Putra Suraliman, hal ini berdasarkan Naskah Pustaka Rajyarajya / Pustaka Bumi Nusantara Parwa II Sarga IV tahun 1602 Masehi yang tersimpan di Keraton Keraton Kasepuhan Jawa Barat.Raja Putra Suraliman Th.568 M - Th.597 M, menikah dengan Dewi Mutyasari Putri dari Kerajaan Kutai Bakula Putra bergelar Raja Resi Dewa Raja Sang Luyu Tawang Rahiyang Tari Medang Jati, mempunyai 1 orang anak laki-laki bernama Kandiawan dan 1 orang anak Perempuan bernama Kandiawati, menguasai Nagreg dan sampai Medang Jati Garut Jawa Barat.Hal ini berdasarkan Carita Kabuyudan Sanghyang Tapak.
Raja Kandiawan Th.597 M - Th. 612 M, memindahkan Pusat Kerajaan Kendan dari desa Citaman Nagreg ke Medang Jati di Cangkuang Garut Jawa Barat. Hal ini terbukti dari Situs Candi Cangkuang Garut didesa Bojong Mente Cicalengka kabupeten Garut Jawa Barat. Raja Kandiawan mempunyai 5 orang Putra yaitu ; Mangukuhan, Sandang Greba, Karung Kalah, Katung Maralah dan Wretikandayun, yang masing-masing memerintah dan terbagi 5 daerah yaitu ; Surawulan, Pelas Awi, Rawung Langit, Menir dan Kuli-kuli. Pada Akhir tahtanya ditunjuk Putra bungsu Wretikandayun sebagai Raja Kendan / Kelang dan Sang Raja Kandiawan bertapa di Bukit Layuwatang, Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Namun pada saat bersamaan di pesisir selatan wilayah Tarumanagara (Cilauteureun, Leuweung / Hutan Sancang dan Gunung Nagara) secara perlahan Agama Islam diperkenalkan oleh Rakeyan Sancang putra Kertawarman
Raja Wretikandayun Th.612 M - Th. 702 M, memindahkan lagi Pusat Kerajaan Kendan / Kelang ke Galuh didesa Karang Kamulyaan , kecamatan Cijeungjing, Ciamis Jawa Barat sekarang ini, dengan Permaisuri Dewi Minawati anak dari Pendeta Hindu yaitu Resi Mekandria dan menurunkan 3 orang Putra yaitu ; Sampakwaja menjadi Resi Guru wanayasa, Amara menjadi Resi Guru Deneuh dan Jantaka/ Mandiminyak. Hal ini berdasarkan Pusaka Naga Sastra, Pada masa itu Kerajaan Kendan / Kelang berubah nama menjadi Kerajaan Galuh. Sedangkan Pada tahun 670 Masehi Kerajaan Induk Kendan / Kelang / Galuh ini yaitu Taruma Nagara saat itu diperintah oleh Tarusbawa telah berubah menjadi Kerajaan Sunda dan menyetujui Pemisahan Kerajaan bawahannya Kendan / Kelang menjadi Kerajaan Galuh, sehingga Kerajaan menjadi 2 bagian yaitu ;
Kerajaan Sunda bekas Kerajaan Tarumanagara dengan Rajanya Sri Maharaja Tarusbawa, menguasai wilayah pada bagian Barat, Ibu kota Bogor, Jawa Barat, berkuasa sampai tahun 723 M, hal terbut berdasarkan carita Parahiyangan, sedangkan menurut Prasasti Jaya Bupati yang ditemukan di Cibadak Sukabumi tidak menyebutkan Ibu kota kerajaan di Bogor.
Kerajaan Galuh bekas Kerajaan Kendan / Kelang dengan Rajanya Wretikandayun, menguasai wilayah bagian Timur, ibu kota Kawali di Ciamis, Jawa Barat. sehingga Raja Wretakandayun berani melepaskan diri dari Tarumanagara. Menurut Carita Parahiyangan, Putra Mahkota Galuh Mandiminyak menikah dengan Parwati putri Maharani Shima Putri dari Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, pernikahan melahirkan Rahyang Sena atau Bratasena yang berputra Sanjaya, Sanjaya adalah raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno), yang memerintah sekitar tahun 730-an. Namanya dikenal melalui prasasti Canggal ataupun naskah Carita Parahyangan. Sebagian para sejarawan menganggap Sanjaya sebagai pendiri Wangsa Sanjaya,
Sri Baduga Maharaja yang dikenal sebagai Prabu Siliwangi Kedua Kerajaan ini lalu disatukan menjadi Kerajaan Sunda Pajajaran pada tahun 1482 Masehi. hal ini berdasarkan carita Parahiayangan.
Mandala Kendan
“Ti Inya carek Bagawat Resi Makandria : Ai(ng) dek leumpang ka Sang Resi Guru, ka Kendan. Datang Siya ka Kendan.
Carek Sang Resi Guru : Na naha beja siya Bagawat Resi Makandria, mana siya datang ka dinih?
Pun sampun, aya beja kami pun. Kami me(n)ta pirabieun pun, kena kami kapupudihan ku paksi Si Uwur-uwur, paksi Si Naragati, papa baruk urang heunteu dianak.
Carek Sang Resi Guru: Leumpang siya ti heula ka batur siya deui. Anakaing, Pwah Aksari Jabung, leumpang husir Bagawat Resi Makandria, pideungeuneun satapi satapa, anaking."
(Carita Parahyangan, Drs. Atja dan Saleh Danasasmita, 1981).
Mandala mengandung pengertian “Kabuyutan” atau “Tanah suci”, segala hal, benda atau perbuatan yang dapat menodai kesuciannya harus dilarang atau dianggap “buyut”. Mandala kendan sekarang terletak di kecamatan Nagreg, di atas ketinggian 1200dpl, dengan luas wilayah (± 4.930,29 Ha),yang terbagi atas : hutan rakyat (± 907,37 ha) dan tanaman tahunan/perkebunan (± 1.727,54 ha). Status ke-mandala-an kendan sudah dipangku jauh sejak kerajaan karesian kendan didirikan, daerah ini sangat dilindungi sebagai tempatnya para resi luhung ilmu (diterangkan dalam naskah carita parahyangan).
Barulah kemudian tahun ±512 M, yaitu pada masa raja Tarumanagara ke-9 ; Suryawarman, mandala kendan diberikan kepada seorang Resi yang bernama Manik Maya seorang penganut hindu shiwa yang taat, atas penikahannya dengan seorang putri dari Maharaja yang bernama Tirta Kencana. Daerah ini dianugerahkan sebagai sebuah hadiah pernikahan, diberikan lengkap dengan para prajuritnya. Sejak masa itu Mandala kendan menjadi sebuah kerajaan karesian di bawah perlindungan Maharaja Suryawarman, bukan sebagai sebuah kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Tarumanagara tetapi satu mandala yang sangat dihormati bahkan dilindungi oleh raja-raja pada masa itu :
“ Hawya Ta Sira Tinenget: janganlah ia ditolak, karena dia itu menantu maharaja, mesti dijadikan sahabat, lebih-lebih karena sang resiguru Kendan itu, seorang Brahmana yang ulung dan telah banyak berjasa terhadap agama. Siapapun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan” (carita parahyangan;Danasasmita, 1983:41)
Selanjutnya Kendan menjadi tempatnya para prajurit Tarumanegara untuk ditempa penyucian dan penggemblengan. Salah satu kitab yang terkenal yang disusun oleh Resiguru Manik Maya adalah Pustaka Ratuning Bala Sarewu, yaitu sebuah kitab yang berisi bagaimana caranya membangun sebuah negara dengan para prajuritnya yang sangat kuat. Dari mandala ini dilahirkan para Yudhapena atau panglima perang laut di Tarumanagara, salah satunya yaitu Raja Putra, Sang Baladhika Suraliman, putra pertama Resiguru Manik Maya.
Kemudian kitab ini pula yang memandu Sanjaya keturunan ke-6 dari Kendan, dalam menyatukan kembali Sunda dan Galuh atas bimbingan Rabuyut Sawal ( Masa Sanjaya adalah masa puncak kejayaan bersatunya kembali raja-raja di Jawa ). Berikut keterangan dalam naskah carita parahyangan terkait raja-raja di Kendan:
“Ndeh Nihen carita parahyangan. Sang Resiguru mangyuga Rajaputra. Miseuweukeun Sang Kandiawan lawan Sang Kandiawati, sida sapilanceukan. Ngangaranan maneh Rahyangta Dewaraja. Basa lumaku ngarajaresi ngangaranan maneh Rahyangta Ri Medangjati, inya sang Layuwatang. Nya nu nyieun Sanghyang Watang Ageung ”
“ya, inilah kisah para leluhur. Sang Resiguru beranak Rajaputra. Rajaputra beranak Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati, sepasang kakak beradik. Sang Kandiawan menamakan dirinya Rahyangta Dewaraja. Waktu ia menjadi Rajaresi menamakan dirinya Rahyangta di Medangjati. Yaitu Sang Layungwatang. Dialah yang membangun balairung besar”. (Carita parahyangan, Atja,Danasasmita, 1983:37-38 )
Raja Kendan berstatus Rajaresi atau Raja sekaligus Resi. Raja pertamanya adalah Resiguru Manik Maya, atas pernikahanya dengan Tirta Kencana mempunyai anak bernama Suraliman, kemudian oleh kakeknya Maharaja Tarumanagara ia dianugerahi sebagai Yudhapena atau Panglima laut kerajaan Tarumanegara, ia kemudian menikah dengan Mutyasari seorang putri dari Kudungga, dari pernikahannya ia dianugerahi putra yang bernama Kandiawan yang kemudian di Rajaresikan di Kendan dan putri dengan nama Kandiawati. Kandiawan mempunyai beberapa orang anak yaitu Sang Mangukuhan, Sang Kangkalah, Sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba dan Sang Wretikendayun, yang kemudian di Rajaresikan di Kendan.
Pada masa Wretikendayun terjadi perubahan berarti dalam perkembangan sejarah Kendan, yang diakibatkan adanya pewarisan tahta Tarumanagara kepada bukan wangsa warman. Pada tahun 669 di Tarumanagara dirajakan seorang muda Tarusbawa, putra daerah dari sundapura, ibu kota Tarumanagara saat itu. Diangkatnya Tarusbawa menimbulkan pergolakan dari kerajaan-kerajaan bawahan Tarumanagara, Tarusbawa yang kemudian mendapat gelar Maharaja Tarusbawa Sunda Sembada Manumanggalajaya, karena keputusannya mengubah nama Tarumanagara menjadi kerajaan Sunda, semakin menimbulkan pergolakan. Yang pada akhirnya akibat dari perubahan tersebut, Wretikendayun sebagai Rajaresi Kendan memutuskan untuk me-Mahardika-kan diri, dengan mendirikan Kerajaan Galuh di ibu kota barunya, sebelah timur Kendan, yaitu di antara sungai Cimuntur dan Citanduy.
Sebuah surat dikirimkan kepada Tarusbawa yang berisi peringatan dan keputusan pemisahan daerah “Karunya Ning Caritra”, yang isinya “Mulai hari ini Galuh berdiri sebagai sebuah kerajaan yang Mahardika, tidak berada di bawah kerajaan pakanira lagi, janganlah pasukan tuan menyerang Galuh, karena pasukan Galuh jauh lebih kuat dari pasukan Sunda, ditambah Galuh di dukung oleh kerajaan-kerajaan disebelah timur Citarum...hendaknya kita rukun hidup berdampingan”
Atas keputusan tersebut maka pada tahun 670 M, berdirilah dua buah kerajaan besar di Jawa, dengan Citarum sebagai pembatasnya. Dari Citarum ke arah barat menjadi kerajaan Sunda sedang dari Citarum ke arah timur menjadi kerajaan Galuh. Sementara Mandala Kendan, tetap menjadi sebuah daerah yang dilindungi oleh kedua kerajaan tersebut. Kemudian hari Sunda dan Galuh pada masa Sanjaya dapat dipersatukan kembali, setelah terjadi pemberontakan dan perang saudara antar keturunan Galuh.
Perebutan, perubahan kerajaan tindak lantas mengubah keadaan, Kendan tetap sebagai sebuah Mandala yang sepakat dilindungi. Namun kemudia sejak Pajajaran runtuh tahun 1579, status ke-mandala-an, mengalami perubahan, bahkan beberapa tempat seperti hal nya di Kanekes, tidak lagi diakui oleh para penguasa selanjutnya. Sejak saat itu berbagai kepentingan “penguasa” tidak lagi sejalan dalam melindungi “kesucian” Mandala.
Lihat juga videonya
Dalam Kropak - kropak
“Nuras” sesungguhnya erat dan tumbuh sebagai bagian dari kehidupan masyarakat sunda, yang hidup menggantungkan diri terhadap ladang dan sawah, karena dua hal tersebut merupakan satu penghormatan kepada Nyi Pohaci Sang Hyang Asri dan Batara Patanjala. Artinya bagi masyarakat ladang, padi dan hujan atau air merupakan dua sejoli yang tak terpisahkan. Untuk mereka dalam “Gaib” pelindung hujan atau air, sama pentingnya dengan “Gaib” pelindung padi. Kedua hal ini menjadi dua substansi penting dalam “Nuras”.Dalam kropak 406 dan kropak 630, tercatat Patanjala adalah nama seorang Resi murid Siwa yang berjumlah 5 orang, namun tidak tercatat dalam Practical Sanskrit Dictionary Macdonell. Kata “Patanjala” berarti air jatuh atau air hujan (pata=jatuh:jala=air), sementara di dalam sejarah Jawa Barat ada dua orang raja yang dianggap penjelmaan dari Patanjala, yaitu Wretikendayun raja ke-4 Kendan ( pendiri Galuh ) dan Darmasiksa atau Maharaja Tarusbawa Sunda Sembada Manumanggalajaya ( Pendiri Sunda ).
Penulis kropak 632 bahkan menganggap Patanjala sebagai daya-hidup sehingga tokoh ini dalam kepercayaan orang sunda silam menggeser posisi Siwa dan Wisnu.Dalam lakon Lutung Kasarung versi pantun Kanekes, tokoh Guru Minda di sebut Guru Minda Patanjala. Khusus di daerah Tangtu lakon itu tergolong sakral karena isinya berkaitan dengan perawatan tanaman padi dan pengurusannya setelah panen. Tersirat disini hubungan antara Patanjala, yang turun ke dunia untuk mengajarkan tata cara penanaman padi dan pemeliharaannya agar sesuai dengan kehendak Nyi Pohaci Sang Hyang Asri.
Dalam pantun Bogor, Batara Kuwera yang dianggap sebagai Dewa Hujan atau Dewa air dan kemakmuran di kisahkan sebagai “suami” Nyi Pohaci Hyang Asri. Dalam hal ini pun kita melihat bagaimana “gaib”, pelindung padi dijodohkan dengan “gaib” pelindung hujan atau air, pelindung hujan atau air hanya berbeda nama.Upacara “seren taun”, dalam versi pantun Bogor dinamakan “Guru Bumi” yang berlangsung selama 9 hari dan ditutup dengan upacara “Kuwera” bakti pada bulan purnama. Upacara ini meliputi “syukuran” atas keberhasilan panen yang dipandang sebagai anugerah dari Dewa Kuwera.
Begitu pula pada upacara Nuras sesungguhnya adalah satu bentuk upacara syukuran bagaimana seharusnya merawat Patanjala (air) sebutan lain bagi Wretikendayun dan Nyi Pohaci Sang Hyang Asri (Padi).
Bukti-bukti Kerajaan Kendan/Kelang yang ada sekarang
- Kampung Pasir Dayeuh kolot / disebut Kampung Kendan dikenal dengan Kampung Kelang di Bukit yang letaknya 15 km sebelah tenggara Cicalengka Jawa Barat.
- Ditemukannya Arca Manik, Arca Durga, Pusaka Naga Sastra, Naskah berbahasa Sansekerta yang disimpan di Museum Nasional Pusat Jakarta.
- Candi Cangkuang di desa Bojong Mente, Cicalengka, Garut, Jawa Barat.
- Situs Makam Keramat Sanghyang Anjungan, Situs Makam Keramat Embah Singa, Situs Makam Keramat Eyang Cakra, Situs Makam Keramat Kiara Jenggot.
- Batu Cadas Pangeran di Nagreg Jawa Barat.
- Sedangkan Komplek Keraton Baleeh Gedeh untuk Pertemuan dan Baleeh Bubut untuk kediaman Raja sudah tidak ditemukan lagi karena Rumah Panggung tersebut terbuat dari Kayu dan sudah lapuk termakan usia jaman, hanya tersisa batu-batu besar di Perbukitan Citaman Nagreg.
- Carita Parahyangan.
- Kabuyutan Sanghiyang Tapak.
- Baru Bertuliskan Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidak menyebutkan Ibu Kota Kerajaan Taruma Nagara.
Referensi
- Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto. 1993. "Sejarah nasional Indonesia: Zaman kuno" Jakarta: PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-408-X
- Adiwilaga, Prof, Ir. Anwas 1975 “Beberapa Catatan Tentang Penulisan Sejarah Jawa barat”, Sejarah Jawa Barat Sekitar Permasalahannya. Bandung : Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Prov. Jawa Barat.
- Atja dan Drs. Saleh Danasasmita, Drs.1981 b "Carita Parahyangan (Transkripsi, Terjemahan, dan Catatan)." Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
- Wangsakerta, Pangeran. 1680. "Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantra. Parwa II, Sarga 4." Naskah Milik Museum Negeri Jawa Barat.
- Darsa, Undang A. 2004. “Kropak 406; Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan“, Makalah disampaikan dalam Kegiatan Bedah Naskah Kuno yang diselenggarakan oleh Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga. Bandung-Jatinangor: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran: hlm. 1 – 23.
- Ekadjati, Edi S. 1995. "Sunda, Nusantara, dan Indonesia; Suatu Tinjauan Sejarah." Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran pada Hari Sabtu, 16 Desember `1995. Bandung: Universitas Padjadjaran.
- Ekadjati, Edi S. 1981. "Historiografi Priangan." Bandung: Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran.
- Ekadjati, Edi S. (Koordinator). 1993. "Sejarah Pemerintahan di Jawa Barat." Bandung: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
- Raffles, Thomas Stamford. 1817. "The History of Java," 2 vols. London: Block Parbury and Allen and John Murry.
- Raffles, Thomas Stamford. 2008. "The History of Java" (Terjemahan Eko Prasetaningrum, Nuryati Agustin, dan Idda Qoryati Mahbubah). Yogyakarta: Narasi.
- Z., Mumuh Muhsin. Sunda, Priangan, dan Jawa Barat. Makalah disampaikan dalam Diskusi Hari Jadi Jawa Barat, diselenggarakan oleh Harian Umum Pikiran Rakyat Bekerja Sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat pada Selasa, 3 November 2009 di Aula Redaksi HU Pikiran Rakyat.
- Tjandrasasmita, Uka. 2009. "Arkeologi Islam Nusantara." Kepustakaan Populer Gramedia.
- E. Rokajat Asura. (September 2011). Harisbaya bersuami 2 raja - Kemelut cinta di antara dua kerajaan Sumedang Larang dan Cirebon. Penerbit Edelweiss.
- Atja, Drs. 1970. "Ratu Pakuan." Lembaga Bahasa dan Sedjarah Unpad. Bandung.
- Atmamihardja, Mamun, Drs. Raden. 1958. "Sadjarah Sunda." Bandung. Ganaco Nv.
- Joedawikarta. 1933. "Sadjarah Soekapoera, Parakan Moencang sareng Gadjah." Pengharepan. Bandoeng,
- Lubis, Nina Herlina., Dr. MSi, dkk. 2003. "Sejarah Tatar Sunda jilid I dan II." Bandung: CV. Satya Historica.
- Emuch, Herman Soemantri. 1979. "Sajarah Sukapura, sebuah telaah filologis." Jakarta: Universitas Indonesia.
- Djatisunda, Anis.1981 "Tata Kehidupan 'Urang Kanekes'”. Bandung: Naskah Laporan untuk BAPPEDA Propinsi Daerah Tingkat I Jawa barat.
- Danasasmita, Saleh dan Anis Djatisunda. 1986. “Kehidupan Masyarakat Kanekes”. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi). Bandung : Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
- Zamhir, Drs. 1996. "Mengenal Museum Prabu Geusan Ulun serta Riwayat Leluhur Sumedang." Sumedang: Yayasan Pangeran Sumedang.
- Sukardja, Djadja. 2003. "Kanjeng Prebu R.A.A. Kusumadiningrat Bupati Galuh Ciamis th. 1839 s/d 1886. Ciamis: Sanggar SGB.
- Sulendraningrat, P.S. 1975. "Sejarah Cirebon dan Silsilah Sunan Gunung Jati Maulana Syarif Hidayatullah." Cirebon: Lembaga Kebudayaan Wilayah III Cirebon.
- Sunardjo, Unang, R. H., Drs. 1983. "Kerajaan Carbon 1479-1809." Bandung: PT. Tarsito.
- Suparman, Tjetje, R. H. 1981. "Sajarah Sukapura." Bandung
- Surianingrat, Bayu., Drs. 1983. "Sajarah Kabupatian I Bhumi Sumedang 1550-1950." Bandung: CV.Rapico.
- Soekardi, Yuliadi. 2004. "Kian Santang." CV Pustaka Setia.
- Tjangker Soedradjat, Ade. 1996. "Silsilah Wargi Pangeran Sumedang Turunan Pangeran Santri alias Pangeran Koesoemadinata I Penguasa Sumedang Larang 1530-1578." Sumedang: Yayasan Pangeran Sumedang.
- Widjajakusuma, Djenal Asikin., Raden Dr. 1960. "Babad Pasundan, Riwajat Kamerdikaan Bangsa Sunda Saruntagna Karadjaan Pdjadjaran Dina Taun 1580." Bandung: Kujang.
- Winarno, F. G. 1990. "Bogor Hari Esok Masa Lampau." Bogor: PT. Bina Hati.
- Olthof, W.L. 2008. "Babad Tanah Jawi - mulai dari Nabi Adam sampai tahun 1647." cetakan IV. Yogyakarta: PT. Buku Kita.
- Hardjasaputra, A. Sobana, H.D. Bastaman, Edi S. Ekadjati, Ajip Rosidi, Wim van Zanten, Undang A. Darsa. 2004. "Bupati di Priangan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda." Pusat Studi Sunda.
- A. Sobana Hardjasaputra (Ed.). 2008. "Sejarah Purwakarta."
- Nina H. Lubis, Kunto Sofianto, Taufik Abdullah (pengantar), Ietje Marlina, A. Sobana Hardjasaputra, Reiza D. Dienaputra, Mumuh Muhsin Z. 2000. "Sejarah Kota-kota Lama di di Jawa Barat." Alqaprint. ISBN 979-95652-4-3.
Comments
Post a Comment