Gemah Ripah yang Diartikan Berbeda di Zaman Modern


[Historiana] - Kita sering mendengan kata "Gemah Ripah" dan biasanya dengan lanjutan kata "loh jinawi". Apa sebenarnya arti gemah Ripah?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, "Gemah ripah" diartikan sebagai tenteram dan makmur serta kata "loh jinawi" sebagai sangat subur tanahnya  Makna ini telah menjadi bahasa serapan dalam bahasa Indonesia.

Mengapa dibahas dalam artikel ini? Dalam kaitannya dengan meneliti sejarah bangsa, kita harus menempatkan sebuah makna kata sesuai zamannya. Demikian pula dengan kata Gemah Ripah.

Dalam bahasa Sunda kuno kata "makmur" adalah "kreta" atau "kerta". Jadi bukan "gemah" atau "ripah". Namun dalam bahasa Sunda kuno, Gemah artinya bergema yang menggambarkan suara riuh rendah manusia. Ripah adalah melimpah. Jadi Gemah Ripah menggambarkan suana riuh rendahnya akibat melimpahnya jumlah manusia.

Jaman dahulu, ketika segala hal masih harus dikerjakan dengan tenaga manusia, jumlah penduduk menjadi ciri kemajuan dan kemakmuran negara. Bagi negara agraris jaman dulu, penyerangan dan penaklukan negara tetangga lebih ditujukan kepada upaya menambah jumlah penduduk dari pada perluasan tanah. Oleh sebab itulah, negara agraris dalam jaman silam selalu mengidap watak agresif yang tersebunyi dan akan meledak setiap kali ada kesempatan.

Negara yang banyak penduduknya disebut negara yang GEMAH RIPAH. Gemah atau Gemuh berarti banyak penduduknya (Volkrijk, menurut Coolsma). Sedangkan Ripah atau Rimpah sama artinya dengan kata Indonesia Limpah (meluap). Jadi Gemah-ripah mengandung arti sangat banyak penduduk seolah-olah melimpah. namun entah mengapa, timbul salah kaprah mengenai artinya yang pada saat ini banyak dipahami sebagai subur makmur. Akibat pengaruh Hindu, kata Gemah-ripah sering disambung dengan LOH JINAWI. Loh atau lwah berarti sungai, dan Jinawi adalah nama lain untuk SUNGAI GANGGA di India. Jadi arti utuh dari GEMAH-RIPAH LOH JINAWI adalah padat (banyak sekali penduduknya seperti daerah Sungai Gangga. Keadaan seperti ini, memang yang didambakan negara-negara agraris jaman dahulu.

Masa Gemah Pakuan disertai oleh kemajuan dalam berbagai segi kehidupan. sesuai dengan jamannya, apa yang kita sebut maju waktu itu mungkin hanya keadaan "sederhana" menurut ukuran hidup jama sekarang ini. Meskipun demikian ada hal yang sifatnya bisa "abadi" jika dilihat dari segi isi dan maknanya, yaitu "NILAI BUDAYA".

Dari jaman Siliwangi, kita diwarisi sebuah naskah kuno yang disebut SISKANDANG KARESIAN sebagai KUNDANGEUN URANG REYA (untuk pegangan hidup orang banyak). Pada akhir naskah dicantumkan tahun penulisannya, yaitu NORA CATUR SAGARA WULAN (tahun 1440 (Saka) atau 1518 M. Naskah ini disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode KROPAK 630.

Sebagian isi dari naskah itu, ada baiknya juga kita ketahui sebagai berikut:

  1. Dasakerta (kesejahteraan yang sepuluh) 
  2. Tapa di Nagara 
  3. Panca parisuda 
  4. Hidup yang penuh berkah 
  5. Parigeuing dan dasa pasanta 
  6. Tritangtu di bumi (tiga posisi di dunia)


1. Dasakerta (kesejahteraan yang sepuluh)

Kesejahteraan hidup dapat kita capai bila kita mampu memelihara kegunaan 10 bagian tubuh, yaitu telinga, mata, kulit, lidah, hidung, mulut tangan, kaki, tumbung (dubur) dan alat kelamin (baga atau purusa).
Dituturkan umpamnya (artinya saja) :
"Telinga jangan mendengarkan hal-hal yang tidak layak didengar karena menjadi pintu bencana penyebab kita menemukan kesengsaraan di dasar kenistaan neraka, tetapi bila (telinga) digunakan untuk hal-hal yang baik, kita akan memperoleh keutamaan dari pendengarannya"­.
[Dukun bayi jaman dulu selalu membisikkan ajaran ini pada telinga kiri si bayi setelah bayi itu dimandikan. Hal ini menunjukkan bahwa hal yang pertama-tama diperkenalkan kepada manusia adalah ajaran moral tentang hidup bersusila]

2. Tapa di Nagara

Naskah itu menyebut sebagai contoh 29 macam pekerjaan yang bermanfaat bagi umum, seperti menteri, bayangkara, pandai besi, prajurit, petani, anak gembala, dalang dan lain-lain. Lalu dijelaskan :
"Eta kehna turutaneun, kena eta ngawakan tapa di nagara" (semua itu patut ditiru karena mereka itu melakuan tapa dalam negara) Jadi yang dimaksud dengan tapa ini adalah melaksanakan pekerjaan yang berguna untuk kepentingan umum. Oleh sebab itu penulis Carita Parahiyangan mencela sikap Ratu Dewata karena ia melakukan cara tapa yang tidak sesuai dengan tugasnya sebagai raja dalam keadaan negara terancam musuh.

3. Panca parisuda

Panca parisuda mengandung arti LIMA OBAT PENAWAR. Ini kaitannya dengan sikap menerima CELAAN atau KRITIK. "lamun aya nu meda urang, aku sapameda sakalih" (bila ada yang mengkritik kepada kita, terimalah kritik orang lain itu) Anggaplah:
• ibarat kita sedang dekil menemukan air untuk mandi
• ibarat kita sedang burik ada orang yang meminyaki
• ibarat kita sedang lapar ada orang yang memberi nasi
• ibarat kita sedang dahaga ada orang yang mengantarkan minuman
• ibarat kita sedang kesal datang orang yang membawakan sirih-pinang (seupaheun)

Dengan sikap seperti itu dikatakannya :
"kadyangga ning galah cedek tinugalan teka" (sama halnya dengan galah sodok dipapas runcing).
Galah cedek (bambu runcing) makin pendek makin baik karena kemungkinan patah makin berkurang. Dengan kritik akal budi kita akan menjadi makin kukuh dan tajam. "lamun makasuka urang kangken pare beurat sangga" (kalau senang menerima kritik orang, kita akan seperti padi yang runduk karena berat berisi)

4. Hidup yang penuh berkah

Pelengkap hidup agar selamat dalam kehidupan dan mendapat berkah dalam rumah tangga harus :

  • cermat (emet)
  • teliti (imeut) rajin (rajeun)
  • tekun (leukeun)
  • cukup sandang (paka predana)
  • bersemangat (morogol-rogol)
  • berpribadi pahlawan (purusa ningsa)
  • bijaksana (widagda)
  • berani berkurban (hapitan)
  • dermawan (waleya)
  • gesit (cangcingan)
  • cekatan (langsitan)

Prinsip hidupnya adalah Tidak menyusahkan orang lain, hidup berkecukupan, tetapi tidak berlebihan.
"Jaga rang hees tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang kajongjonan" (Hendaknya kita ingat, bahwa tidur sekedar penghilang kantuk, minum tuak sekedar pelepas haus, makan sekedar penghilang lapar, jangan kita berlebihan)

5. Parigeuing dan dasa pasanta

Hidup yang cukup itu harus disertai tiga kemampuan (tri geuing), yaitu GEUING, UPAGEUING dan PARIGEUING.

Geuing adalah "bisa ngicap ngicup dina kasukaan" (bisa makan dan minum dalam kesenangan) Upageuing aadalah "bisa nyandang bisa nganggo, bisa babasahan bisa dibusana" (bisa berpakaian, bisa punya cadangan pakaian bila yang lain dicuci, bisa berdandan)

Parigeuing adalah "bisa nitah bisa miwarang, ja sabda arum wawanginya mana anteu surah nu dipiwarang" (bisa memberi perintah, bisa menyuruh karena tutur bahasa yang manis sehingga orang yang disuruh tidak merasa jengkel hatinya)

Parigeuing memerlukan dasa pasanta (10 cara penenang), yaitu;

  1. bijaksana (guna) 
  2. ramah (rama) 
  3. sayang (hook) 
  4. memikat (pesok) 
  5. kasih (asih) 
  6. iba hati (karunya) 
  7. membujuk (mupreruk) 
  8. memuji (ngulas) 
  9. membesarkan hati (nyecep) 
  10. mengambil hati (ngala angen)


Tujuan dari hal di atas adalah :
"nya mana suka bungah padang-caang nu dipiwarang" (agar senang dan penuh kegairahan orang yang di suruh)
Betapapun harus kita akui, bahwa seseorang menjalankan perintah dengan penuh rasa senang dan gairah, prestasinya akan maksimal. Yang penting terutama adalah janganlah kita mengabaikan harga diri seseorang.

6. Tritangtu di bumi (tiga posisi di dunia)

Dalam kehidupan masyarakat Jawa Barat tradisional, ada tiga posisi yang menjadi tongak kehidupan, yaitu :

  • RAMA
  • RESI 
  • PRABU

Dalam naskah dianjurkan agar orang berusaha memiliki:
- bayu pinaka prabu (wibawa seorang raja)
- sabda pinaka rama (ucapan seorang rama)
- hedap pinaka resi (tekad seorang resi)

Tugas ketiga tokoh itu dalam kropak 632 ditegaskan:
"jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu" (urusan bimbingan rakyat menjadi tanggung jawab sang rama/pemuka masyarakat, urusan kesejahteraan hidup menjadi tanggung jawab sang resi/ulama, dan urusan pemerintahan menjadi tanggung jawab raja/ pemegang kekuasaan).
Ketiga pemegang posisi itu sederajat karena "pada pawitannya, pada muliyana" (sama asal-usulnya, sama mulianya). Oleh karena itu diantara ketiganya :
"haywa paala-ala palungguhan, haywa paala-ala pameunang, haywa paala-ala demakan. Maka pada mulia ku ulah, ku sabda ku hedap si niti, si nityagata, si aum, si heueuh, si karungrungan, ngalap kaswar, semu guyu, tejah ambek guru basa dina urang sakabeh, tuha kalawan anwam" (jangan berebut kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut hadiah. Maka berbuat mulialah dengan perbuatan, dengan ucapan dan dengan tekad yang bijaksana, yang masuk akal, yang benar, yang sungguh-sungguh­, yang menarik simpati orang, suka mengalah, murah senyum, berseri di hati dan mantap bicara kepada semua orang, tua maupun muda)
Tritangtu sebagai sistem kepemimpinan itu masih dilaksanakan di KANEKES. Orang BADUY menyebutnya TANGTU TELU (tritangtu). Ketiga orang PUUN di Kanekes masing-masing menempati posisi Resi (Puun CIKERTAWANA), Rama (Puun CIKEUSIK) dan Ponggawa (Puun Cibeo). Dalam kehidupan sehari-hari ketiga Puun itu berkuada penuh di daerah masing-masing. Tetapi dalam hal umum menyangkut seluruh Kanekes, barulah fungsi Tangtu telu itu berlaku.

Pada dasarnya ketiga posisi itu terdapat pula dalam masyarakat kita sekarang, yaitu Pemuka Masyarakat, Ulama dan Pemerintah. Apa yang diharapkan dari trio itu pada jaman Siliwangi, rasanya masih diharapkan juga dewasa ini. Tradisi tidak selamanya "usang". Anggap sajalah semua itu "wangsit Siliwangi" karena memang ditulus sebagai "perudang-undan­gan" pada jamannya.
Bagian akhir naskah Siskandang Karesian berisi anjuran agar orang tua tidak mengawinkan anak-anaknya yang masih di bawah umur :
"hanteu yogya mijodohkeun bocah, bisi kabawa salah, bisi kaparisedek nu ngajadikeun" (Tidak layak mengawinkan anak kecil, agar tidak terbawa salah, agar tidak merepotkan yang menjodohkan)
Bila kita perhatikan ajaran moral dalam jaman Siliwangi melalui naskah tersebut, mengertilah kita mengapa sikap Ratu Dewata, Ratu Sakti dan Nilakendra sangat dicela oleh penulis Carita Parahiyangan :
"Aja tinut de sang karuwi polah sang nata" (jangan ditiru oleh yang kemudian kelakuan raja ini)
Itulah beberapa warisan nilai budaya dari jaman Siliwangi yang sekarangpun tampaknya masih bisa dimanfaatkan sebagai SEUWEU-SIWI SILIWANGI.


Comments

Popular posts from this blog

Asal usul Uang "Cicis" dalam Budaya Sunda

Inilah 151 istri Prabu Siliwangi? Siapa saja nama-namanya....

Naskah Sanghyang Raga Dewata