Kerajaan terpecah oleh Belanda, Belanda Pergi - Bagaimana Sekarang?

[Historiana] - Nusantara dijajah Belanda, konon selama 350 tahun. Jejak bukti masa penjajahan - koloniaslime Belanda dapat kita temukan dalam berbagai bentu. Tinggalan berupa bangunan fisik hingga memengaruhi sisi kehidupan sosial - politik di Indonesia sekarang.

Belanda pemecah belah bangsa! seperti itu kalimat-kalimat yang kita dapati dari berbagai sumber sejarah, baik di bangku sekolah, buku-buku, maupun media online yang bertebaran di dunia maya. Memang benar politik pecah belah atau politik adu domba Belanda sangat kita kenal sebagai "devide et impera".

Bukti sejarahnya adalah beberapa kerajaan yang semula utuh kemudian terpecah-pecah. Mulai Kerajaan terpecah menjadi 2, ataupun terbelah-belah lagi. Semua itu salah Belanda.

Kerajaan Mataram Islam pecah

Kerajaan yang konon terpecah belah oleh VOC Belanda contohnya Mataram Islam yang terpecah menjadi 2 kerajaan yakni:

  1. Mataram Barat yakni KesultananYogakarta, diberikan kepada Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I.
  2. Mataram Timur yakni Kasunanan Surakarta diberikan kepada Paku Buwono III.


Pecahnya Kerajaam Mataram Islam ini pada Perjanjian Giyanti. Perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 tersebut secara de facto dan de jure menandai berakhirnya Kesultanan Mataram yang sepenuhnya independen. Nama Giyanti diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian tersebut, yaitu di Desa Giyanti (ejaan Belanda) yang sekarang terletak di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo, sebelah tenggara Karanganyar, Jawa Tengah.

Oleh VOC, Perjanjian Giyanti dilaksanakan dengan tujuan membangun aliansi kekuatan baru untuk menumpas pemberontak dan mengurangi kekuatan pemberontak dengan menggandeng salah satu kekuatannya.

Pada tahun 1813 sebagian daerah Kesultanan Yogyakarta diberikan kepada Paku Alam selaku Adipati. Dengan demikian kerajaan Mataram yang satu, kuat dan kokoh pada masa pemerintahan Sultan Agung akhirnya terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil, yakni:

  1. Kerajaan Yogyakarta
  2. Kasunanan Surakarta
  3. Pakualaman
  4. Mangkunegaran

Kerajaan Cirebon Pecah

Kesultanan Cirebon pernah mengalami masa-masa bahagia pada abad awal berdirinya dan dapat menciptakan suasa damai yang tumbuh menjadi negara makmur.1 Sayangnya masa ini hanya terjadi pada pemerintahan Sunan Gunung Jati hingga Panembahan Ratu II. Bibit kemunduran Kesultanan Cirebon berawal ketika kesultanan ini dibagi menjadi dua kesultanan yaitu Kasepuhan dan Kanoman pada tahun 1677.2 Pecahnya Kesultanan Cirebon tidak terlepas dari Sultan Banten yaitu Sultan Ageng Tirtayasa yang memberikan gelar sultan kepada putra Panembahan Ratu II.

Pecahnya Kesultanan Cirebon memicu adanya perselisihan antar sultan Cirebon untuk mendapatkan daerah kekuasaan. Melihat adanya konflik keluarga sultan-sultan Cirebon, VOC mencoba memanfaatkan keadaan tersebut. VOC melakukan intervensi terhadap kesultanan di Cirebon dengan dalih untuk meredakan konflik antar sultan serta menciptakan perdamaian. VOC berhasil menanamkan pengaruhnya yang berujung pada penguasaan wilayah Cirebon.Adanya pengaruh dan campur tangan VOC dalam tubuh kesultanan membuat perubahan dalam bidang politik dan ekonomi di Cirebon.

Kerajaan atau Kesultanan Cirebon juga mengalami perpecahan. Pembagian terhadap kesultanan Cirebon secara resmi terjadi pada tahun 1679 saat Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya dinobatkan menjadi sultan di keraton Pakungwati, kesultanan Cirebon, sebelum kedua pangeran kembali ke Cirebon setelah diselamatkan oleh Tronojoyo dari Mataram dengan bantuan persenjataan dari kesultanan Banten pada tahun 1677.

Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon menjadi dua kesultanan dan satu peguron dikarenakan untuk menghindari perpecahan keluarga kesultanan Cirebon. Ini dilakukan karena adanya perbedaan pendapat dikalangan keluarga besar mengenai penerus kesultanan Cirebon. Pendapat keluarga besar terbelah dan mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta) untuk menjadi penguasa, maka Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten di tahun yang sama.

Setelah mereka tiba di kesultanan Banten dari Mataram yaitu pada tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan memiliki wilayahnya masing-masing yaitu Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya. Sementara satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan tanpa wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan atas kepustakaan kraton.

Hal tersebut merupakan babak baru bagi kesultanan Cirebon, di mana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para penguasa berikutnya, berikut gelar ketiganya setelah resmi dinobatkan:

  1. Sultan Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1679-1697)
  2. Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1679-1723)
  3. Panembahan Cirebon, Pangeran Wangsakerta dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1679-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Pelantikan keduanya menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai Kaprabon (Paguron) yaitu tempat belajar para intelektual keraton.

Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon. Semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, di mana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon). Wilayah ini mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektare.

Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu wali kota dan bupati.

Belanda Sudah Pergi, kenapa tidak Gabung?

Situasi unik dan menggelitik yang ada dalam pikiran penulis sejak masa anak-anak dulu. Kegemaran penulis membaca dan mendengarkan paparan sejarah kerajaan yang terpecah belah Belanda (VOC). Belanda lah yang salah! Tapi... Bukankah Belanda sudah lama pulang ke negerinya? Kenapa kerajaan yang terpisah tidak bergabung kembali? Jadi.... benarkah yang "jadi masalah" si biang kerok itu pasti Belanda?

**Cag**

Referensi

  1. Ekajati, Edi Suherdi. 2005. Polemik naskah Pangeran Wangsakerta. Pustaka Jaya: Bandung
  2. George D Larson. 1990. Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912-1942. Yogyakarta: Gajah mada University Press. 
  3. Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu.
  4. Ricklefs, M.C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  5. Soedarisman Poerwokoesoemo. 1985. Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Comments

Popular posts from this blog

Asal usul Uang "Cicis" dalam Budaya Sunda

Inilah 151 istri Prabu Siliwangi? Siapa saja nama-namanya....

Naskah Sanghyang Raga Dewata