Prabu Siliwangi Beragama Islam dan Prabu Siliwangi Moksa (Ngahiyang) sebagai Hindu
Ilustrasi: sirohparaguru.blogspot.com |
Kedua cerita: Bahwa Prabu Siliwangi beragama Islam dan Prabu Siliwangi Ngahiyang (moksa) bisa jadi benar adanya sesuai fakta. Kekeliruan cara pandang kita karena kita salah mengidentifikasi sosok Prabu Siliwangi. Mari kita bahas mengetahi sosok Prabu Siliwangi berdasarkan Naskah Wangsakerta Cirebon.
Naskah Wangsakerta berbahasa Cirebon ini ditulis selama 21 tahun (1677-1698) dengan aksara Jawa dan tebal tiap buku atau jilid sekitar 200 halaman. Para penyusunnya mengatakan bahwa Naskah Wangsakerta adalah “buku induk” riwayat Nusantara untuk menjadi pegangan bagi mereka yang ingin mengetahui riwayat dan kisah tanah kelahiran dan para leluhur mereka.
Menurut naskah itu, kata Ayat, sebenarnya tidak ada raja Sunda bernama Prabu Siliwangi. Nama itu hanyalah julukan bagi raja-raja Sunda yang menggantian Prabu Wangi yang gugur di Bubat. Prabu Wangi sendiri nama sebenarnya adalah Prabu Linggabhuwana atau dalam Carita Parahiyangan disebut Prabu Maharaja.
Julukan Prabu Wangi diberikan kepadanya oleh rakyatnya karena ketegarannya mempertahankan martabat Sunda ketika "Perang Bubat" bersama semua pengiring, pengawal, dan putrinya yang cantik jelita, Dyah Pitaloka, gugur dalam pertempuran melawan Majapahit pada 1357. Julukan itu sebagai penghormatan terhadap semua jasa dan pengabdian sang raja sehingga namanya menjadi wangi atau harum.
Menurut Ayat Rohaedi, Ada berapa raja Sunda yang menggantikan Prabu Wangi. Naskah Wangsakerta dan Carita Parahiyangan mencatat jumlah yang sama, yaitu delapan raja. “Di sinilah aku berbeda paham dengan sejawat peneliti sejarah Sunda. Mereka hanya mengakui Sri Baduga Maharaja (1482-1521) sebagai Prabu Siliwangi, sementara aku mengakui ada delapan orang raja berjuluk Prabu Siliwangi. Sama dengan kepercayaan orang Jawa yang menganggap bahwa ada lima raja bernama Prabu Brawijaya"
“Dengan mengikuti Naskah Wangsakerta berarti raja terbesar adalah Niskala Wastukancana sebagai Prabu Siliwangi I sedangkan raja terakhir adalah Suryakancana yang berjuluk Prabu Siliwangi VIII,” kata Ayat.
Ayat menyadari tidak mudah mengubah pendapat orang. Hingga sekarang pun barangkali masih banyak yang mengamini pendapat bahwa Prabu Siliwangi hanya seorang raja yaitu Sri Baduga Maharaja.
Prabu SIliwangi Beragama Islam
Baiklah, kita menggarisbawahi bahwa dalam Bahasan ini yang dimaksud Prabu Siliwangi adalah Suami dari Nyai Subanglarang (Subang Karancang) yaitu Sri Baduga Maharaja (Prabu Jayadewata). Dalam sebutan dari Ayat Rohaedi, Prabu Siliwangi II. Sosok Inilah yang disebut-sebut menganut agama Islam. Kisah proses peng-Islaman Prabu SIliwangi ketika ia menikahi Nyai Subang Larang puteri Ki Gedeng Tapa, seorang mangkubumi dari Nagari Singapura, dari Nhay Ratu Karanjang (putri Ki Gedeng Kasmaya penguasa -Guruloka Mandala Wanagiri atau Kerajaan Wanagiri Cirebon, yang masih saudara dari Prabu Anggalarang). Subang Larang lahir pada 1404 M. Carita Purwaka Caruban Nagari mengisahkan bahwa Subang Larang adalah salah satu istri dari Raden Pamanah Rasa yang kelak menjadi Raja Pajajaran dengan gelar Prabu Siliwangi.
Nama Nhay (Nyai) Subang Larang tertulis dalam Carita Purwaka Caruban Nagari. Carita Purwaka Caruban Nagari (disingkat CPCN) merupakan karya Pangeran Arya Cerbon pada tahun 1720 (150 tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat), dengan menggunakan bahasa Jawa-Cirebon. Pangeran Arya Cerbon menggunakan naskah Nagarakretabumi, salah satu judul dari enam Naskah Wangsakerta, sebagai rujukan dalam menulis CPCN. Naskah ini kemudian diterjemahkan oleh Pangeran Sulendraningrat (1972) dan Atja (1986).
Besar kemungkinan, setelah menikah, Subang Larang diboyong ke istana Galuh (di Ciamis sekarang, bukan Pakuan pajajaran Bogor) oleh Pamanah Rasa. Selanjutnya Prabu Siliwangi menikasih Nhay Kentring Manik Mayang Sunda dari Kerajaan Sunda, putri Susuk Tunggal (Sang Haliwungan putera Prabu Nisakala Wastukancana). Prabu Wastukancana adalah kakek Sribaduga Maharaja (Jayadewata/Pamanah Rasa/Siliwangi). Jadi Prabu Susuk Tunggal yang menjadi mertuanya adalah Uwanya sendiri. Baru, setelah Pamanah Rasa dilantik menjadi Raja Pajajaran di Pakuan bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Ratu Dewata (tertulis pada Prasasti Batu Tulis), menggantikan uwaknya sekaligus mertuanya, Susuk Tunggal, pada 1447 M, maka Subang Larang pun menetap di Pakuan, bersama istri-istri Sang Prabu yang lain.
Rekonstruksi Pamanahrasa (Prabu Siliwangi). Dok Pribadi |
Arca Pananahrasa (Prabu Siliwangi) dari Talaga |
Selain beristri Subang Larang, Raden Pamanah Rasa menikahi pula Nhay Ambet Kasih (Ngabetkasih), putri Ki Gedeng Sedhang Kasih. Jadi, Ambet Kasih merupakan sepupu Subang Larang sendiri.
Pasangan Sri Baduga – Subang Larang memiliki tiga orang anak, yakni Walangsungsang, Lara Santang, dan Raden Sengara. Diperkirakan, ketika putra-putri telah berusia di atas 17 tahun, Subang Larang meninggal dunia. Tak jelas kapan tahun wafatnya dan di mana ia dikuburkan. Sementara itu, sang suami yakni Prabu Siliwangi masih hidup.
Setahun setelah ibunya wafat, Walangsungsang pergi meninggalkan keraton Pakuan, disusul adiknya, Lara Santang. Sementara dalam Naskah Carita Parahyangan, Prabu Siliwangi Sri Baduga Maharaja wafat. Menurut Babad Cirebon dimasa sepuhnya Prabu Siliwangi merad (Moksa) setelah Pajajaran (Galuh) dikalahkan oleh Cirebon. Sementara dalam sumber sejarah sebagaimana yang tertulis dalam Prasasti Batu Tulis, sepertinya Prabu Siliwangi wafat dengan normal, dan tahta setelahnya diserahkan kepada anaknya Prabu Surawisesa. Inilah yang sering disalahartikan oleh kita sekarang ini. Tertulis dalam berita Cirebin, bahwa Prabu Siliwangi Moksa setelah Kerajaan Pajajaran diserang dan dikalahkan Cirebon, sementara saat itu yang berkuasa di pakuan Pajajaran Bukanlah Pamanahrasa (Sri Baduga, ayah dari Walangsungsang) tetapi Prabu Raga Mulya alias Prabu Suryakancana dan Cirebon pun sudah dipimpin oleh Panembahan Ratu bukan lagi Prabu Walangsungsang anak Pamanahrasa (Sri Baduga). Jadi peperangan tahun 1579 M adalah pertempuran antar keturunan "Prabu Siliwangi" Sri Baduga Maharaja.
Dalam sumber sejarah Naskah Carita Parahyangan, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :
"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa".
(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).
Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama. Bahwa Prabu Siliwangi Sri Baduga Maharaja menganut agama Islam juga masih "kemungkinan" karena tidak ada sumber jelas menyatakan demikian. Naskah Carita Parahyangan menjelaskan bahwa Prabu Siliwangi disunat dan disunat adalah budaya pituin Sunda alias budaya asli Sunda. Jadi disunat bukanberarti Islam, seperti hanya Yesus Kristus (Isa Almasih) juga disunat.
Prabu Siliwangi Ngahiyang atau Moksa
Istilah moksa hanya dikenal dalam ajaran agama Hindu. Jadi mereka yang mencapai moksa tentunya adalah seorang penganut agama Hindu. Lalau bagaimana prabu Siliwangi dikatakan moksa? Jawabannya karena sosoknya berbeda. Prabu Siliwangi yang moksa adalah Prabu Raga Mulya alias Prabu Suryakancana. Ia adalah raja terakhir hingga Kerajaan Pajajaran runtag (runtuh) pada tahun 1579 Maeshi.
Seperti dibahas di atas, bahwa Prabu Siliwangi yang paling terkenal adalah Jayadewata (Pamanah Rasa) alias Sri Baduga Maharaja memiliki banyak istri. Dalam sumber Cirebon, disebutkan memiliki 150 atau 151 istri. Sribaduga (Prabu Siliwangi) ini adalah leluhur dari Prabu Suryakancana yang juga bergelar "Siliwangi" dari jalur istrina Nhay Kentring Manik Mayangsunda yang masih bergama Hindu. .Sosok Nhay Kentring Manik Mayangsunda yang masih menganut agama Hindu tercatat dalam Pantun Bogor. Baca dalam Inilah Kitab Suci Ageman Sunda Buhun.
Keturunan Prabu Siliwangi Sribaduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor sekarang) dari istri (garwa padmi) adalah sebagai berikut:
- Surawisesa (1521 – 1535), bertahta di Pakuan
- Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakuan
- Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan
- Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan anaknya, Maulana Yusuf
- Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari Pandeglang
Raga Mulya adalah raja terakhir Kerajaan Sunda yang beribukota di Pakuan Pajajaran. Nama ini dalam naskah Wangsakerta disebut juga sebagai Prabu Suryakancana, sedangkan dalam Carita Parahiyangan dikenal dengan nama Nusya Mulya.
Prabu Suryakancana tidak berkedudukan di Pajajaran, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia dikenal pula sebagai Pucuk Umun (Panembahan) Pulasari (mungkin raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari).
Jadi yang disebut-sebut Prabu SIliwangi Moksa adalah Siliwangi terakhir yakni Prabu Suryakancana (Raga Mulya) ini. Seperti diketahui dari Pantun Bogor, bahwa leluhurnya dari Ibunda permaisuri Nhay Kentring Manik Mayang Sunda yang bergama Hindu. Prabu SUryakancana dikisahkan bertapa di Kaduhejo Gunung Palasari Banten di lokasi yang diperkirakan pusat kerajaan Salakanagara lelhurnya. Ia dikisahkan mencapai moksa di tempat ini.
Sebutan "Nu Siya Mulya" artinya Menurutmu Mulya, barangkali berupa hinaan terhadap dirirnya akibat terkalahkan dalam perang. Seluruh Keturunan Prabu Siliwangi Sri Baduga Maharaja dari Garwa Padmi Nhay Kentring Manik Mayang Sunda musnah (tumpur). Kejadian genosida terhadap saudara tidak seibu sering mewarnai sejarah Nusantara.
Dalam Pustaka Nusantara III/1 dan Kertabhumi I/2 disebutkan,
"Pajajaran sirna ing ekadaśa śuklapaksa Wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Śakakala"
yang artinya,
"Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka."
Tanggal tersebut kira-kira bertepatan dengan 8 Mei 1579 M.
Referensi
- "Prabu Siliwangi Ada Delapan bukan Satu", Hendri F. Isnaeni. Historia.id Diakses 9 September 2018
- "Prabu Siliwangi, Raja Sunda Ternama" History of Cirebon Historyofcirebon.id Diakses 9 September 2018
Comments
Post a Comment