Mandala Rajadesa: Kerajaan Bawahan Tarumanagara
Rajadesa. Foto: Climate-Data.org |
Kisah sasakala atau asal-usul Rajadesa bersumber dari buku “Sejarah Rajadesa” karangan H.M. Suryana Wiradiredja, S.H., sebagaimana ditulis ulang pada laman ciamis.info dan beberapa laman lainnya yang senada. Dalam beberapa catatan, Guru Gantangan, yang merupakan nama lain Mundinglaya Dikusuma, atau Prabu Surawisesa, banyak dijadikan tokoh cerita-cerita tradisional, baik babad maupun pantun, misalnya Babad Pakuan atau Babad Pajajaran.
Situs yang terdapat di Rajadesa, yaitu: Situs Samida, Situs Sanghiang, Situs Cibarani, Situs Rancamaya, dan Situs Gunung Marapi.
Mandala Rajadesa dan Guru Gantangan
Guru Gantangan adalah seorang anak Prabu Siliwangi yang memiliki kekurangan fisik, berupa tangan kanan yang kengkong (bengkok, dalam bahasa Sunda). Prabu Siliwangi suatu saat melihat hal tersebut dalam sebuah pertunjukan tari di keratonnya. Sang Prabu mengira Guru Gantangan bukanlah keturunannya dan memerintahkan patih kerajaan melarang tampilnya pemuda tersebut.Guru Gantangan merasa sangat terpukul dan memilih undur diri dari istana. Sejatinya, ia memang anak Prabu Siliwangi yang dilahirkan dari permaisuri ke-3, bernama Dewi Nawangsih. Konon, anak Prabu Siliwangi berjumlah 40 orang.
Ia kemudian pergi ke arah timur, sembari berharap mendapat petunjuk dari dewa, dan menemukan orang yang dapat mengobati tangannya. Setelah sekian lama menempuh perjalanan, ia pun akhirnya sampai di sebuah leuweung gede (hutan lebat) di wilayah Kadipaten Rancah, dalam keadaan compang-camping mengenaskan. Ia lalu dirawat di rumah adipati Rancah yang bernama Dalem Gayam Cengkong (dalam sumber lain, disebut Dalem Gayam Cengkok).
“Saya tidak tahu nama saya siapa, Bi Emban, pun dari mana asal saya. Saya tak punya orang tua. Saya sudah lama di perjalanan,” jawab Guru Gantangan, tak mau berterus terang, saat seorang emban yang merawatnya bertanya tentang asal-usulnya. Beruntung, atas kebaikan tuan rumah, ia pun dibolehkan tinggal di kediaman Dalem Gayam Cengkong.
Suatu hari, putri Dalem Gayam Cengkong tiba-tiba keracunan, dan tidak ada yang dapat menyembuhkannya. Tanpa disangka, ternyata Guru Gantangan dapat menyembuhkan Sang Putri. Atas kejadian tersebut, dijodohkanlah Sang Putri dan Guru Gantangan.
Dalem Gayam Cengkong, beberapa saat kemudian, memerintahkan Guru Gantangan untuk bertapa di hulu sungai Cirancah. Dalam pertapaannya, ia bertemu dengan seekor tupai putih, dan berusaha menangkapnya dengan tangannya yang cacat. Ternyata terjadi keajaiban, tangan tersebut menjadi sembuh.
Dua belas bulan kemudian, ternyata muncul utusan Prabu Siliwangi. Mereka terdiri atas Purwakalih, Gelap Nyawang, Kidang Pananjung, dan Pangadegan, diperintahkan untuk mengajak pulang Guru Gantangan, sembari membawa tujuh ruas air. Dalem Gayam Cengkong, ketika mengetahui bahwa Guru Gantangan merupakan putra Prabu Siliwangi, berniat menyerahkan kepemimpinan Rancah kepadanya, tetapi ternyata sang pemuda memilih jalannya sendiri.
Ia ingin mendirikan wilayahnya sendiri. Maka ia bersama istrinya, diiringi para utusan Pajajaran, berjalan ke arah selatan. Mereka berhenti di suatu tempat yang cukup tinggi untuk mengamati alam sekitar. Bukit itu dikenal sebagai Dusun Randegan (randeg berarti berhenti dalam bahasa Sunda).
Mereka berjalan lagi dan menemukan tempat yang handap (rendah, dalam basa Sunda), dan semua sepakat untuk tinggal sementara di sana. Tujuh ruas air dari Pajajaran ditempatkan di dekat rumahnya, yang disebut Pasarean. Mereka pun membangun rumah, balairung, jalan dan kelengkapan lainnya. Singkat kata, seiring berjalannya waktu, berdatanganlah orang-orang yang kemudian ikut tinggal di pemukiman baru bernama Handapraja itu.
Tapi, Guru Gantangan tidak merasa puas. Ia menganggap tempat tersebut agak curam. Ia kemudian mengajak pengikutnya berjalan lagi ke selatan, dan menemukan sebuah pelataran cukup luas dan indah bernama Bukit Samida. Tujuh ruas air diletakkan di tempat bernama Cibarani, dan mereka pun membangun lagi pemukiman baru di situ.
Ternyata sebenarnya sudah ada penduduk di Bukit Samida tersebut, bernama Aki Gedeng, tetapi ia berbaik hati membolehkan rombongan Guru Gantangan bermukim di sana. Aki Gedeng memilih pindah ke Gunung Marapi. Lambat laun Gunung Samida semakin ramai dan berkembang. Guru Gantangan disebut sebagai Ki Gede Raja Desa.
Empat orang utusan Pajajaran kemudian memohon pamit untuk pulang ke pusat kerajaan Pajajaran. Mereka membawa kabar gembira mengenai berdirina Rajadesa. Prabu Siliwangi sangat gembira mendengar laporan para utusan, dan memerintahkan mereka kembali ke Rajadesa, dengan ditambah dua orang lagi, yakni Liman Jaya Sakti dan Jaga Dalu. Prabu Siliwangi juga mengangkat Guru Gantangan sebagai raja dengan julukan Prabu Sirnaraja (dalam keterangan lain, disebut Prabu Sirnajaya).
Konon, pemukiman baru tersebut berada dalam keadaan aman, tenteram dan sejahtera, karena kepemipinan Ki Gede Raja Desa, dan dibantu oleh ronda malam Ki Jagadalu (dalu, basa Jawa, berarti malam). Ki Jagadalu ditemani seekor harimau hitam bernama Ki Tempang, yang merupakan keturunan Bongbang Larang dan Bongbang Kencana, tetapi kaki depannya agak pendek.
Guru Gantangan: Mundinglaya?
Tidak berlebihan apabila para penyalin babad ini menjelaskan banyaknya kemiripan bagian pertama kisah Guru Gantangan dengan pantun Mundinglaya Dikusumah. Prabu Siliwangi raja Pajajaran, beristeri padmi tiga orang, yakni Rajamantri atau Rembang Sari Dewata atau Ambetkasih dari Sumedang lama, Marajalarang Tapa dari Cirebon Girang, dan Kentring Manik Mayang Sunda dari Nusa Bima yang melahirkan Guru Gantangan di Sindang Barang. Di samping itu, Prabu Siliwangi juga masih mempunyai 150 isteri yang lain.Yang menjadi Mentri Agung ialah Kyan Murugul atau Surabima Panji Wirajaya, kakak Rajamantri. Yang menjadi patih adalah kakak Marajalarang, Ramacunta Tuan Paksajati. Yang menjadi penasehat, antara lain Begawan Bramanasakti, “orang seberang”.
Jumlah kakak ipar raja ada 13 orang, putranya ada 75 orang. Pada suatu hari raja sedang duduk di sitinggil (siti hinggil) didampingi Raden Ayu Rajamantri dan Marajalarang, isteri-isteri yang lain, para dayang, dan selir. Raja duduk di atas kasur berwarna hitam berukiran naga sepasang, berguling majeti keling, tilam duduknya dari sutera. Karena mengantuk, raja berbaring, diselimuti Rajamantri. Dalam tidurnya, raja bermimpi bertemu dengan seorang putri cantik molek dan muda, Ratna Inten, “di Pakuan tak ada yang seperti itu, di bumi Jawa tak ada tolok bandingnya”. Ketika bangun, “tatkala tabuh berbunyi, kebetulan hari Jumat”, raja amat rindu kepayang kepada putri impiannya itu, dan pingsan tak sadarkan diri.
Setelah sadar, raja masih terbayang Ratna Inten yang “lehernya jenjang, wajah berbentuk ulasan durian, sanggul malang, dan jari-jarinya mendaun suji”. Diumumkan kepada kakak-kakak iparnya, putera-puteranya, para ponggawa, rangga kaduruhan, aria rangga, tumenggung, demang, dan ngabehi, bahwa barang siapa dapat mencari dan mewujudkan impian raja akan diberi sebahagian Negara. Namun tak seorang pun menyanggupi.
Di sini kita memuji pengetahuan penulis babad ini yang begitu rinci menggambarkan tingkat-tingkat pegawai pemerintahan raja Sunda dan ketelitian menggambarkan paseban raja di sitinggil. Ketelitian dan rincian seperti itu dipertunjukkannya ketika ia menceritakan berbagai persenjataan, jenis-jenis gamelan dan tarian di istana raja Sunda.
Referensi
- ciamis.info., 2014. "Kisah Guru Gantangan, Asal-usul Rajadesa" Diakses 30 April 2018.
- Sumardjo, Jakob. "Hermeneutika Sunda - Simbol-Simbol Babad Pakuan/Guru Gantangan" Smashswords.com diakses 30 April 2018.
- Wiradiredja, Suryana.. S.H “Sejarah Rajadesa”
Comments
Post a Comment